Analisis
Sosiologi Terhadap Kumpulan Puisi “Patiwangi” Karya Oka Rusmini
Oleh
: Nafissa Haque (12020144216)
Abstrak
Karya
sastra merupakan hasil pemikiran dan cerminan dari sebuah budaya kelompok
masyarakat mana saja yang memiliki kebudayaan, oleh karena itu dalam karya
sastra banyak menceritakan tentang interaksi manusia dengan manusia dan
lingkungan. Patiwangi ialah suatu upacara yang dilakukan tehadap perempuan
bangsawan di Pura Desa untuk menghilangkan kebangsawanannya, karena menikahi
laki-laki berkasta rendah. Keadaan atau peistiwa ini ialah cerminan dari realitas
dan aspek sosial kemasyarakatan di Bali yang merupakan aib bagi kasta brahmana.
Ka ta kunci:
Karya sastra, Patiwangi, Kasta, Brahmana, Bali
I.
Pendahuluan
Pendekatan
sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang
besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa
sastra merupakan cermin zamannya. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah
menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu
dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Pendekatan yang dilakukan
terhadap karya sastra pada dasarnya ada dua, yaitu pendekatan instrinsik dan
ekstrinsik. Unsur-unsur merupakan unsur-unsur dalam yang diangkat dari isi
karya sastra, seperti tema, alur atau plot, perwatakan, gaya bahasa dan
penokohan. Sedangkan unsur-unsur ekstrinsik berupa pengaruh dari luar yang
terdapat dalam karya sastra itu diantaranya sosiologi, politik, filsafat,
antropologi dan lain-lain. Pendekatan sosiologis atau pendekatan ekstrinsik
biasanya mempermasalahkan sesuatu diseputar sastra dan masyarakat bersifat
sempit daneksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan
situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat, dan politik.
Dapat
dipahami bahwa bilamana seseorang ingin mengetahui keadaan sosiologis dari
suatu masa karya tertentu ditulis, kita memang belum tentu dapat mengenal tata
kemasyarakatan pada waktu itu, tetapi setidaknya kita dapat mengenal tema mana
yang kira-kira dominan pada waktu itu melalui pendekatan sosiologis. Melalui
pendekatan sosiologis ini penulis akan mengkaji kumpulan puisi “Patiwangi”
Karya Oka Rusmini
II.
Kajian Teori
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal
dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran
tra berarti alat, sarana. kesimpulan
dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Grebstein (dalam
Damono,1984: 4-5) menjelaskan bahwa karya sastra tidak dapat
dipahami secara
menyeluruh dan dipisahkan dari budaya masyarakat
yang
menghasilkannya. Dengan
demikian, kesamaan permasalahan antara sosiologi dengan sastra adalah
sama-sama berurusan
dengan manusia dan masyarakat.
Namun, seorang sosiolog hanya dapat melihat fakta berdasarkan kenyataan
yang
terjadi di dalam masyarakat. Sedangkan
sastrawan
mampu mengungkapkan kenyataan melalui imajinasinya.
Uraian
di atas dipertegas oleh pendapat Ratna (2004: 399) yang
mengatakan bahwa sosiologi sastra adalah
“Analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat”.Jadi, sosiologi adalah kajian terhadap suatu karya sastra dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya baik yang
berhubungan dengan penciptanya, gambaran masyarakat dalam karya itu maupun
pembacanya
Dalam bukunya A
Glossary of literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga
tipe perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1.
Penulis dengan lingkungan budaya tempat
ia tinggal.
2.
Karya dengan kondisi sosial yang
direfleksikan di dalamnya .
3.
Audien atau
pembaca (1981:178).
Lain halnya dengan Grebsten (dalam
Damono, 1989) dalam bukunya mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural
terhadap sastra dengan kesimpulan sebagai berikut:
1.
Karya sastra tidak
dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau
kebudayaan atau peradaban yang telah dihasilkan. Ia harus mempelajari konsep
seluas-luasnya
2.
Gagasan yanga ada
dalam karya sastra sama pentingya dengan bentuk dan teknik penulisannya,atau
teknik itu di tentukan oleh gagasan tersebut
3.
Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik
dalam hubungannya dengan kebudayaan dan sumber
4.
Masyarakat dapat
mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai satu kekuatan atau
faktor material, istimewa, dan kedua, sebagai tradisi yakni kecenderungan
spiritual kultural yang bersifat kolektif
5.
Kritik sastra
seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih harus
melibatkan diri kedalam suatu tujuan tertentu.
6.
Kritikus
bertanggng jawab baik kepada sastra masa silam maupun masa depan.
Berdasarkan pendekatan terhadap karya sastra, kritik
sastra itu dapat pula digolongkan ke dalam kritik objektif, yakni kritik sastra
yang menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa suatu karya sastra adalah
karya yang mandiri. Ia tidak perlu dilihat dari segi pengarang, pembaca, atau
dunia sekitarnya. Ia harus dilihat sebagai objek yang berdiri sendiri, yang
memiliki dunia sendiri. Oleh sebab itu kritik yang dilakukan atas suatu karya
sastra merupakan kajian intrinsik semata.
III.
Pembahasan
Penulis
akan menganalisis satu dari sekian puisi pada bagian potret, yakni “Bajang-Bajang”
menurut KKBI bajang-bajang berarti hantu yg berkuku panjang, yg menurut
kepercayaan sebagian masyarakat, suka mengganggu anak-anak dan wanita hamil.
Untuk dapat mengerti maksud pada puisi ini, kita analisis dulu bagian isi.
Bajang - Bajang
(I)
Kau
bisa memandang dengan matamu yang hitam?
Lalu
kautelanjangi
Satu
demi satu rangkaian yang bertengger di Kuri
Gede
Kau
diam
Ketika semburat warna
dan tangis memutarmu
Kautuntun waktu
Atau waktu yang
memaksamu
Masuk Bale Bandung
Kau berubah
Menjelma jadi Dewi
Ratih
Melantai dengan sedikit
polesan
Agung wajah, agung
darah
Parekan tua menyunggimu
Dengan batu darah
perawan baru
Kau gelisah
Payas
Agung begitu berat di kepala
Orang-orang bergumam
Wajahmu kusut, tidak
tahu harus bicara apa
Hanya satu kalimat dari
pelingsir
“Jegg
sudah Bajang.”
Analisis bagian puisi
(I)
Pada
potongan puisi Bajang- Bajang ini saya menemukan beberapa aspek sosial
kemasyarakatan yang terjadi di Bali yang terlihat dari beberapa bait-bait yang
dapat saya artikan tentang suatu persiapan upacara yang bertengger di Kuri Gede
(Pintu besar pada upacara besar). Seorang putri kasta brahmana bersiap masuk ke
Bale Bandung (Bangunan yang disucikan) denga wajah yang kusut dan gelisah ia
bersiap diri untuk disunggingkan batu darah perawan baru oleh parekan (abdi
laki-laki). Dari makna puisi tersebut dapat dilihat dari aspek sosiologi bahwa
Jegg (Sebutan putri kasta brahmana) terlihat takut dalam menjalani upacara
yangakan menurunka kastanya. Sehingga berdampak sosiologis pada masyarakat
sekitarnya sehingga “Jegg” dapat di cemooh oleh warga sekitar dan dianggap
membawa aib untuk keluarganya (Kasta Brahmana)
(IV)
Ada
luka yang lebar di mata
Menembus
lubang roh-roh
Sementara
sedikit birahi mulai menetes
Ada
sang Kamajaya mengendon dalam bilik hati
Ada
Sang Kamajaya mengendon dalam bilik hati
Luka
pada bintik hitam mata mulai berdarah
Mengering,
berdarah dan bernanah
Kau
hanya berkata:
“Tembok
ini terlalu tinggi.”
Griya
tidak bisa menolongmu
Kau
bisa jadi pejabat, menjadi feminis yang ambisius/energik
Kau
menggeleng, meghamburkan nanah dari lubang mata
Lalu
menggeliat di atas bale-bale
Cecak
dan cereret mengunit kediaman milikmu
Jejahitan
di tangan robek. Pelingsir marah
Katanya:
Seorang
bajang berwarna polesan harus teliti.
Harus..”(Satu
malam kau dengar nasehat itu)
Kau
hanya mengangguk. Lain tidak
Alam
juga tidak beringsut mengajarimu jadi Srikandi
Yang
berani memberontak, menuntut hak (lagi-lagi menggeleng tidak, menggangguk
tidak)
Katamu:
“Titiang
tidak berani menjawabnya.”
Analisis
bagian puisi (IV)
Pada
bagian ini “Jegg” merasa sedih karena sang Kamajaya mulai pergi, dan tidak ia
dapati lagi pertemuan itu. Griya (rumah kasta brahmana) tidak dapat lagi menolongnya.
Ia dapat bebas sekarang menjadi seorang yang feminis, ambisius tanpa adanya
larangan lagi. “Jegg” ini memiliki sikap atau perilaku yang mudah memberontak
dan melakukan hal apapun yang ia ingin tanpa bisa dicegah. Dan akhirnya “Jegg”
merasa menyesal dan ingin kembali putri keturunan kasta brahmana. Namun tidak
ada yang dapat menolongnya lagi.
Analisis
bagian puisi (IX)
Bajang:
Mata
milikmu berair
Sang
Kamajaya tidak peduli
Bajang?
Kau bukan bajang lagi
Datu-datu
berserakan
Masa
tua yang sepi
Masa
tua yang menggigit
Masa
tua yang berpangkat
Alangkah
mahalnya pegorbananmu, Dewi Ratih
(bajang-bajang
lari kemana)
Masih
ingat parekan?Mesangih?Mesunggi di atas pundak?
Coba
pandang keluar
Kertas
kerja membungkus surga
Jabatanmu
hanya datu
Analisis puisi bagian
(IX)
Pada bagian ini
diperlihatkan pengorbanan Dewi Ratih dari berbagai upacara yang ia lewati dari
abdi laki-laki, sampai upacara memotong gigi yang berat untuk dilalui, namun
terselesaikan. Dan saat ini ia hanyalah menjadi “datu” yakni perawan tua. Dari
seoramg putri brahmana yang melakukan ritual mempertahankan keperawanannya dari
pada menikahi laki-laki berkasta rendah
Patiwangi
Inilah tanah baruku
Mata air menentukan
hidupnya
Ikan-ikan memulai
percintaan baru
Batang-batang yang
menompang daun-daun muda
Membuat upacara
penguburan
Telah kucium beragam
bunga
Dan sesajen mengutuk
kaki yang kubenamkan ditanah
Suara genta menyumbat
mata angin
Tak mampu mengantar
dewa pulang.
Kubuat peta di
Pura-pura
Mengatur warnaku pada
silsilah matahai
Bumi mengeram, tanah
memendam amarah
Tak ada pecahan suara
Menyelamatkan warnaku
Para lelaki menantang
matahari
Menunggu warna
perempuan pilihannya
Tak ada upacara
untuknya disetiap sudut pura
Para pemangku hanya
mencium bangkai dupa
Terlalu banyak dewa
yang harus diingat
Dan para lelaki terus
meminang
Karena namaku
Kuharus punya sejarah
upacara
Anak-anak
Kelak kumandikan dari
pilihan ini
Analisis Puisi
Patiwangi.
Patiwangi:
Pati, mati. Wangi, keharuman. Patiwangi adalah upacara yang dilakukan terhadap
perempuan bangsawan di Pura Desa untuk menghilangkan kebangsawanannya, karena
menikahi laki-laki perkasta rendah. Seringkali upacara ini berdampak psikologis
bagi para perempuan bangsawan.
Pada
puisi ini menurut saya, menjelaskan tentang kehidupan baru pasca melakukan ritual
patiwangi. Suatu kegiatan upacara yang mengutuk untuk menjadi orang biasa
karena gelar kebangsawannnya telah dihapus karena ia lebih memilih menikahi
kasta sudra yang meupakan aib bagi keluarga brahmana karena dianggap menurunkan
kasta keturunannya. dan ia bersedia dimandikan dari pilihan ini.
IV.
Penutup
Perkembangan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari
pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas
dan aspek sosial kemasyarakatan. Kajian ini
dikaji menggunakan kritik objektif, yakni kritik sastra yang menggunakan
pendekatan atau pandangan bahwa suatu karya sastra adalah karya yang mandiri.
Ia tidak perlu dilihat dari segi pengarang, pembaca, atau dunia sekitarnya. Ia
harus dilihat sebagai objek yang berdiri sendiri, yang memiliki dunia sendiri.
Oleh sebab itu kritik yang dilakukan atas suatu karya sastra merupakan kajian
intrinsik semata.Sebagai salah satu pedekatan kritik sastra, sosiologi
sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan
segi-segi kemasyarakatan (sosial) yang tercermin dalam kumpulan puisi patiwangi
karya Oka Rusmini.
Daftar
Pustaka
Semi, Drs Atar. 1989,
Kritik Sastra. Bandung : angkasa
Hardjono, andre. 1994,
Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama