Jumat, 21 Juni 2013

Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah

Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah
Oleh
Nafissa Haque
I.     Pendahuluan
Kebudayaan pada perkembangannya di era globalisai ini seolah dikalahkan oleh adanya kemajuan teknologi dan pola pemikiran manusia yang dapat menghadirkan berbagai macam corak kesenian dan setidaknya hal itulah yang dirasakan masyarakat dimasa sekarang ini. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut didukung pula oleh arus globalisasi, yang menyebabkan tradisi di zaman sebelumnya mulai memudar karena di nilai pemikiran zaman dahulu lebih mengarah pada kepercayaan. Untuk itu tradisi-tradisi di zaman dahulu saat ini sudah jarang di lakukan oleh masyarakat.
II.   Pembahasan
Meski sudah mulai ditinggalkan, sebagian warga Lamongan masih memegang tradisi perempuan yang harus meminang (melamar) laki-laki. Dan Tradisi orang Lamongan tidak boleh menikah dengan orang Kediri. Tradisi itu diduga kuat berhubungan dengan sejarah leluhur Lamongan bernama Panji Laras Liris. Tradisi perempuan yang melamar laki-laki sebelum melangsungkan pernikahan sudah cukup lama berlangsung di Lamongan. Tradisi itu dinilai tidak lazim, karena bertolak belakang dengan tradisi yang umum terjadi, yakni kaum laki-laki yang umumnya justru yang harus melamar kaum perempuan. Tradisi yang tidak diketahui mulai diberlakukan sejak kapan tersebut diduga kuat ada hubungannya dengan sejarah salah satu leluhur Kabupaten Lamongan bernama Mbah Sabilan dalam riwayat Panji Laras Liris.
Riwayat Panji Laras-Liris tersebut selalu diceritakan setiap acara ziarah ke malam Mbah Sabilan untuk memperingati Hari jadi Lamongan. Dalam riwayat Panji Laras Liris tersebut diungkapkan, sekitar tahun 1640 - 1665 Kabupaten Lamongan dipimpin bupati ketiga bernama Raden Panji Puspa Kusuma dengan gelar Kanjeng Gusti Adipati. Bupati tersebut mempunyai dua putra bernama Panji Laras dan Panji Liris yang terkenal rupawan. Ketampanan kedua pemuda Lamongan tersebut membuat jatuh hati dua putri Adipati Kediri yang bernama Dewi Andanwangi dan Dewi Andansari. Karena terus didesak putrinya, meski dengan berat hati (karena pihak perempuan harus melamar ke pihak laki-laki) Adipati Kediri menuruti keinginan putrinya dengan meminang Panji Laras dan Panji Liris di Lamongan. Saat itu warga Kediri masih belum memeluk Islam, sedangkan di Lamongan Islam sudah sangat mengakar, Menyikapi kondisi itu, Panji Laras dan Liris meminta hadiah berupa dua genuk (tempat air) dari batu dan dua tikar dari batu. Benda-benda tersebut harus dibawa sendiri oleh Dewi Andansari dan Andanwangi. Hadiah itu sebenarnya mengandung isyarat agar dewi andansari dan andanwangi mau masuk Islam. Sebab genuk mengandung isyarat tempat untuk wudlu dan tikar untuk sholat. Kedua benda tersebut saat ini tersimpan di Masjid Agung Lamongan. Permintaan itu dinilai sangat berat oleh Adipati Kediri. Meski begitu tetap dijanjikan akan dipenuhi. Selanjutnya benda-benda itu dibawa sendiri oleh kedua perempuan itu ke Lamongan dengan pengawalan satu pasukan prajurit dengan naik perahu menyusuri Kali Lamong. Kedatangan Dewi Andansari dan Andanwangi disambut Panji Laras Liris di pinggir Kali Lamongan yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Mantup. Kedua pemuda tersebut juga dikawal pasukan prajurit dari Lamongan yang dipimpin patih Mbah Sabilan. Ketika akan turun dari perahu tanpa sadar kain panjang dewi Andansari dan Andanwangi tersingkap dan kelihatan betisnya. Melihat betis kedua perempuan itu Panji Laras-Liris terbelalak dan ketakutan. Sebab betis kedua perempuan itu penuh dengan bulu lebat yang menakutkan. Spontan Panji laras Liris lari meninggalkan kedua perempuan itu. Dan menolak untuk menikahi Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi serta meminta agar rencana pernikahan tersebut dibatalkan. Mendengar hal tersebut Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi merasa terhina dan malu, sehingga mereka bunuh diri saat itu juga dihadapan Panji Laras dan Panji Liris. Melihat junjungan mereka dihina dan dipermalukan sampai bunuh diri, orang-orang Kediri itu akhirnya menjadi sangat marah dan ingin membunuh Panji Laras dan Panji Liris, kemudian terjadilah perang. Melihat nyawa Panji Laras dan Panji Liris dalam bahaya, maka Mbah Sabilan berjuang mati-matian untuk melindungi mereka, dan akhirnya Mbah Sabilan meninggal untuk melindungi nyawa Panji Laras dan Panji Liris. Setelah patihnya meninggal, orang-orang Lamongan pun semakin terdesak dan akhirnya Panji Laras dan Panji Liris pun ikut meninggal tanpa diketahui jenazahnya. Tidak puas dengan hal tersebut orang-orang Kediri itu pun semakin maju bahkan sampai ke pendopo kadipaten. Dalam pertempuran di pendopo kadipaten tersebut, Bupati Lamongan ikut gugur. Namun sebelum menghembuskan nafas terakhir, Bupati Lamongan sempat berpesan anak cucuku jangan ada yang menikah dengan orang Kediri”. Hal itulah yang menjadi alasan orang Lamongan tidak diperbolehkan menikah dengan orang Kediri dan adanya tradisi pihak perempuan yang meminang (melamar) pihak laki-laki.

III.    Penutup

Demikian yang dapat saya paparkan dalam artikel “Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah”. Dalam artikel ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada dalam artikel ini. Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya artikel ini. Semoga artikel ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;