Jumat, 05 Juli 2013 1 komentar

Sejarah Pemikiran Modern

FILSAFAT HELENISME DAN FILSAFAT SKOLASTIK
Oleh
Nafissa Haque


A.                 Filsafat Helenisme
Yunani adalah sebuah Negara di Eropa yang telah memiliki pemikiran peradaban yang maju sejak berabad-abad tahun yang lalu (Yunani kuno). Istilah Helenisme adalah istilah modern yang diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizein yang berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani” (to speak or make Greek). Helenisme Klasik: Yaitu kebudayaan Yunani yang berkembang pada abad ke-5 dan ke-4 SM. Helenisme Secara Umum: Istilah yang menunjuk kebudayaan yang merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya Asia Kecil, Syiria, Mesopotamia, dan Mesir yang lebih tua. Lama periode ini kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai 323 SM (Masa Alexander Agung atau Meninggalnya Aristoteles) hingga 20 SM (Berkembangnya Agama Kristen atau Jaman Philo)
Jadi pemikiran filsafat helenisme adalah filsafat Yunani untuk mencari hakikat sesuatu atau sebuah pemikiran untuk mencari suatu kebenaran yang terjadi pada masa Yunani kuno. Filsafat Yunani pada masa Hellen-Romawi dalam garis besarnya dapat dibagi dua, periode etik dan periode religi.

B.                             Filsafat Skolastik
Zaman Skolastik dimulai sejak abad ke-9. Kalau tokoh masa Patristik adalah pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran filsafat dan teologi pada zamannya, para tokoh zaman Skolastik adalah para pelajar dari lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel Agung (742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo biarawan.
Dengan demikian, kata “skolastik” menunjuk kepada suatu periode di Abad Pertengahan ketika banyak sekolah didirikan dan banyak pengajar ulung bermunculan. Namun, dalam arti yang lebih khusus, kata “skolastik” menunjuk kepada suatu metode tertentu, yakni “metode skolastik”.
Dengan metode ini, berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-contra-nya untuk kemudian ditemukan pemecahannya. Tuntutan kemasukakalan dan pengkajian yang teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan merupakan ciri filsafat Skolastik.

Pada periode ini, diupayakan misalnya, pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi tanpa berdasarkan Kitab Suci (Anselmus dan Canterbury). Selanjutnya, logika Aristoteles diterapkan pada semua bidang pengkajian ilmu pengetahuan dan “metode skolastik” dengan pro-contra mulai berkembang (Petrus Abaelardus pada abad ke-11 atau ke-12). Problem yang hangat didiskusikan pada masa ini adalah masalah  universalia dengan konfrontasi antara “Realisme” dan “Nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya. Selain itu, dalam abad ke-12, ada pemikiran teoretis mengenai filsafat alam, sejarah dan bahasa, pengalaman mistik atas kebenaran religious pun mendapat tempat.
0 komentar

BUDAYA MASYARAKAT PULAU KETUPAT

BUDAYA MASYARAKAT PULAU KETUPAT
OLEH
NAFISSA HAQUE
PENDAHULUAN
            Pulau Ketupat merupakan pulau kecil yang terletak di wilayah timur Madura. Untuk menuju pulau ketupat di perlukan waktu kurang lebih lima jam dengan naik kapal yang tarifnya berkisar rata-rata dua puluh lima ribu rupiah. Jika membawa kendaraan bermotor, menambah biaya ongkos sebesar sepuluh ribu.
            Kapal penumpang yang menuju pulau ketupat hanya muat untuk dua puluh lima orang. Itupun jumlah penumpang maksimal. Biasanya penumpang yang bertujuan kesana hanya sepuluh sampai dengan lima belas orang saja.
            Masyarakat yang ingin langsung ke Pulau Ketupat lebih banyak menempuh jalur Panarukan daerah Probolinggo, karena lebih banyak melakukan rute perjalanan ke pulau-pulau kecil. Pulau Ketupat ini sangat eksotis. Dari jauh pulau ini tampak seperti gundukan tanah yang kecil. Semakin medekat gundukan tanahnya semakin membesar. Pantai tersebut banyak di kerumuni oleh karang-karang. Banyak sampan-sampan kecil yang bermesin berdatangan menjemput para penumpang. “Tore, Pa’.”(“Mari, Pa.”). Itulah sapaan awak sampan yang memberikan bantuan kepada para penumpang yang mengangkat barang berat. Seteah sampan berisi sekitar 5 orang, berangkatlah sampan menuju pelababuhan dengan tarif sekitar  dua ribu per orang.
TOPOGRAFI DAN DEMOGRAFI
            Pulau Ketupat adalah pulau kecil yang terletak di sebelah timur ujung pulau Madura.Luas pulau tersebut sekitar 2.10 km.
Batas-batas Pulau Ketupat      :
Utara                             Selat Madura
Selatan                           Laut Jawa
Timur                            Pulau Raas
Barat                               Selat Sapudi

-Jenis tumbuhan yang banyak tumbuh disana adalah pandan liar. Selain itu juga terdapat tumbuhan bukkol, palembang, dan bille. Adapun tumbuhan yang menghasilkan komoditi berupa siwalan (ta’al) dan kelapa (nyiur).

-Jenis binatang yang terdapat disana adalah

a. Burung : kepodang, penthet, jalak,gagak, bangau laut, elang laut, walet, perkutut, jalak                       koci, bangau, tekukur, dan pipit

b. Ayam : ayam alam, ayam kampung, dan ayam bengkok

c. Binatang ternak : sapi dan kambing

d. Ikan : ceng-kocengan, armang, cucut, dan katambha’

e. Kepiting :sengki, rajungan, kampat, anca’, dan kongo

SISTEM AGAMA
            Agama yang banyak di peluk oleh masyarakat Madura adalah Islam.
Kuntowijyo (1986:43) mengungkapkan bahwa masyarakat Madura adalah masyarakat Islam. Persebaran  Islam ke Madura bermula dari pedagang Gujarat, India. Yang berdagang dan menyebarkan agama islam. (Jonge,1989b:40). Hal itu terbukti adanya mushola, langgar, dan juga masjid yang tampak tersebar di Pulau Ketupat. Adapun pemeluk agama selain islam, sangat jarang. Untuk bangunan rumah peribadatan di Ketupat, yang ada hanyalah rumah ibadah untuk umat islam, sedangkan Gereja, Pura, dan Juga Vihara tidak terdapat disana.
            Di Pulau Ketupat terdapat seorang laki-laki beragama kristen. Namun di desa tersebut, ia menikah dengan perempuan beragama islam. Ketika memunyai seorang anak, anak mereka harus di rawat dengan cara islam, misalnya di khitan serta di selameti. Dan di doakan menjadi orang yang berguna, baik dunia maupun di akhirat.

Pembangunan tempat ibadah umat islam disini berkembang sangat pesat karena adanya solidaritas terhadap agama islam. Hal itu tampak dari penggalangan dana yang mereka lakukan untuk membangun masjid. Tetapi saat ini banyak mereka menggalang dana untuk membangun masjid namun hasil penggalangan dana tersebut mereka gunakan untuk kepentingan pribadi. Maka dari itu di Madura jarang ada masyarakat yang menjadi pengemis.
0 komentar

METODE KRITIS DALAM PEMIKIRAN ROMAN JAKOBSON

METODE KRITIS DALAM PEMIKIRAN ROMAN JAKOBSON
Oleh
Diky Adriartoko, Nafissa Haque, Yetik Afriana

      Menurut pendapat Roland Barthes, bahasa adalah sebuah sistem tanda  yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat dalam waktu tertentu. Dalam pemikirannya, Barthes lebih mengarah pada tanda, petanda, dan penanda. Lain halnya dengan Roman Jakobson yang menyatakan bahwa bahasa bersifat membedakan. Pembedaan tersebut berlangsung melalui dua sumbu, yaitu : sintagmatis dan paradigmatis. Pemikiran Jakobson terpusat pada dua aspek dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran metafor retoris (kesamaan) dan metonimia (kesinambungan). Pemikirannya juga mengarah pada fungsi dalam bahasa.
Melalui hasil pemikiran Barthes, Jakobson justru menyatakan perbedaan pandangan. Bila menurut Barthes bahasa sebagai sistem tanda, Jakobson justru berpendapat bahwasanya bahasa sebagai pembeda. Analisa Jakobson mengenai bahasa sebagai pembeda dengan menerapkan beberapa langkah, diantaranya : (1) mencari distinctive features (ciri pembeda) yang membedakan tanda-tanda kebahasaan satu dengan yang lain, (2) memberikan ciri menurut features tersebut pada masing-masing istilah sehingga tanda-tanda tersebut cukup berbeda satu dengan yang lainnya, (3) merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-istilah kebahasaan dengan ciri pembeda yang dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan tertentu lainnya dan (4) menentukan perbedaan-perbedaan antar tanda yang penting secara paradigmatik, yakni perbedaan-perbedaan antar tanda yang dapat saling mengantikan. Berbeda dengan Barthes yang mengemukakan bahwa sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran ke dua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem ke dua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi, pada saat bersamaan ,tanda denotatif adalah juga penanda konotatif.
Jakobson berkeyakinan bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda dari suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain. Misalnya saja /C/ pada kata “pancang” dan /J/ dalam kata “panjang”. Ciri pembeda dari contoh tersebut adalah suara (voice). Fonem /c/ tidak bersuara sedangkan fonem /j/ bersuara. Dan Jakobson juga menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, merupakan faktor-faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal, yaitu Adresser (pengirim), Context (konteks), Code (Kode), dan Contact (kontak). Sedangkan ideologi dari Barthes, mewujudkan dirinya melalui berbagai ide yang merembes masuk ke dalam teks, dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti ; tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
Dari beberapa tahapan tersebut, pada akhirnya Jakobson menghasilkan perumusan yang berbeda dari Barthes. Menurut Jakobson bahasa bersifat membedakan yang berlangsung melalui dua sumbu yaitu sintagmatis dan paradigmatis.

   
1 komentar

ANALISIS MASALAH YANG TERKANDUNG DALAM CERPEN “SRI SUMARAH“ KARYA UMAR KAYAM

ANALISIS MASALAH YANG TERKANDUNG DALAM
CERPEN “SRI SUMARAH“ KARYA UMAR KAYAM
OLEH
NAFISSA HAQUE


A.      SINOPSIS CERPEN “SRI SUMARAH” KARYA UMAR KAYAM

Sri Sumarah bercerita tentang seorang perempuan yang menjadi istri seorang guru yang dipanggil bu guru pijit karena dia punya keahlian memijit. Dia bernama asli Sri sumarah yang memiliki arti pasrah. Dia terbiasa pasrah menjalani hidup sejak kecil. Dia selalu di didik dengan cara jawa oleh neneknya, dia di ajarkan untuk selalu patuh terhadap suaminya apapun perintahnya. Dia di ibaratkan sebagai Subadra  isrri arjuna yang paling setia dan selalu sabar meskipun suaminya menikah berkali-kali dengan perempuan lain. Hal ini pun sedikit banyak harus pula di alami Sri ketika suaminya di anjurkan oleh camat untuk menikah lagi bahkan pak camat pun telah menyiapkan calonnya.
Sri Sumarah mengisahkan jiwa seorang Jawa yang tumbuh dalam suatu lingkungan kebudayaan Jawa, menghadapi berbagai tantangan dan perubahan jaman, dengan lukisan-lukisan alam perasaan dan alam perkembangan sastra Indonesia. Nama tokoh ini berarti Sri yang menyerah, terserah, atau pasrah. Sikap ini diajarkan oleh neneknya dan ingin diajarkannya pada anaknya pula. Sikap sumarah diterjemahkan Sri sebagai kepasrahan ketika dijodohkan neneknya dengan Mas Marto, suaminya. Juga ketika ditinggal mati suaminya, ketika harus berjuang membesarkan Tun anaknya dan mendapatinya hamil di luar nikah, dan juga ketika menghadapi kematian Yos menantunya yang dibunuh dan Tun ditahan di penjara sebab terlibat gerakan PKI.
Setelah peristiwa tragedi Yos dan Tun itu, Sri lah yang mengurus Ginuk, cucu satunya-satunya. Sikap sumarah tetap dijalankannya. Sikap itu mengiringinya selama berusaha memenuhi hidup. Ia memilih menjadi tukang pijit. Memijit dipilihnya sebagai pekerjaan setelah mendapat wisik saat bertirakat. Sejak itu ia memulai perjalanan hidup baru dengan modal memijit. Pekerjaan memijit Sri dinilai bagus oleh masyarakat. Oleh karena itu, ia mendapat cukup uang untuk menghidupi dirinya, Tun, dan Ginuk. Pekerjaan ini dijalani Sri dengan biasa-biasa saja, meskipun ia harus banyak melakukan kontak fisik dengan laki-laki. Sikap bakti berperan di sini. Namun, hatinya sempat goyah ketika suatu hari harus memijit seorang pelanggan pria muda yang tampan dan gagah.
Sri menghadapi masalah setelah Tun dipenjara. Saat itu Sri benar-benar mengalami kesulitan ekonomi. Sawah dan rumah telah dikuasai BTI (Barisan Tani Indonesia, gerakan yang dinaungi PKI), perhiasan habis untuk mengangsur utang, dan persediaan uang semakin menipis. Apa yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di saat seperti seperti itu? Jawabannya terlihat dalam kutipan berikut. Uang? Menipis dan menipis. Dalam satu-dua minggu pasti habis. Lantas? Sri sumarah, sumarah. Seperti biasa dalam keadaan begitu dia akan ingat embah dan suaminya.Sri kemudian bertekad untuk tirakat, tidur kekadar di luar, malamnya. Reaksi Sri dalam menghadapi masalah itu adalah dengan sumarah. Ia tidak menyerah begitu saja, melainkan ia mengambil langkah untuk bertirakat. Caranya dengan tidur sekadarnya dan menunggu datangnya wisik. Wisik adalah pitoedoeh (wewarah) atau gaib, artinya petunjuk gaib. Wisik itu diperoleh Sri kemudian, dan ditafsirkannya sebagai petunjuk bahwa ia harus bekerja sebagai tukang pijit demi melanjutnya hidupnya.
Bawuk, putri bungsu keluarga Suryo, putri seorang 'onder,' priyayi Jawa. Sejak kecil ia telah menumbuhkan sifat-sifat kerakyatan, berbeda denga keempat kakaknya. Hal ini tampak dalam sikapnya yang menghargai para pembantunya. Hanya Bawuk seorang yang memahami kepedihan ibunya, yang terpaksa melihat suaminya tenggelam dalam pelukan ledek (penari), dalam suatu pesta di Kabupaten. Setelah dewasa, Bawuk berkenalan dengan Hassan, seorang aktivis Partai Komunis. Kemudian mereka menikah dan mempunyai seorang putri dan putra. Ketika peristiwa G 30 S meletus, Hassan ikut terlibat dan terus dikejar tentara. Maka Bawuk beserta kedua anaknya terpaksa pindah dari satu kota ke kota lain, untuk mengikuti suaminya yang terpaksa terus melarikan diri dari kejaran tentara. Akhirnya, bawuk mengambil keputusan. Ia datang ke kota tempat tinggal ibunya, untuk menitipkan kedua anaknya. Tak mungkin ia membawa-bawa kedua anaknya dalam pelarian itu. Anak-anaknya butuh kehidupan yang layak dan bersekolah dengan tenang. Di rumah ibunya, Bawuk disambut oleh keempat kakak beserta ipar-iparnya yang telah mapan: seorang brigjen, dosen di ITB, dirjen di salah satu departemen, dan seorang dosen lagi di Gadjah Mada. Mereka terus membujuk Bawuk agar tetap tinggal di kota itu. Namun Bawuk telah berketetapan hati untuk terus mencari suaminya. Dengan tegar ia menjelaskan bahwa sebagai isteri, ia tetap harus menemui suaminya. Hanya saja kedua anaknya dititipkan kepada ibunya. Semua kakaknya sulit menerima keputusan itu. Hanya sang ibu yang dapat memenuhi keputusan Bawuk. Cerita ditutup dengan suara sayup anak-anak Bawuk yang sedang belajar mengaji. Bu Suryo membaca dalam surat kabar, bahwa G 30 S telah ditumpas dan Hassan, menantunya ialah salah seorang yang diberitakan tertembak mati. Tapi Bawuk tak ketahuan rimbanya.

B.      Masalah – Masalah yang Terkandung Dalam Cerpen “Sri Sumarah”
Nuansa Jawa yang kental terlihat di cerpen yang menceritakan makna nama yang tersandang oleh tokoh Sri Sumarah. Cerpen ini cukup panjang hingga dapat juga disebut novelet. Nama tokoh ini berarti Sri yang menyerah, terserah, atau pasrah. Sikap ini diajarkan oleh neneknya dan ingin diajarkannya pada anaknya pula. Sikap sumarah diterjemahkan Sri sebagai kepasrahan ketika dijodohkan neneknya dengan Mas Marto, suaminya. Juga ketika ditinggal mati suaminya, ketika harus berjuang membesarkan Tun—anaknya—dan mendapatinya hamil di luar nikah, dan juga ketika menghadapi kematian Yos—menantunya—yang dibunuh dan Tun ditahan di penjara sebab terlibat gerakan PKI. Setelah peristiwa tragedi Yos dan Tun itu, Sri-lah yang mengurus Ginuk, cucu satunya-satunya. Sikap sumarah tetap dijalankannya. Sikap itu mengiringinya selama berusaha memenuhi hidup. Ia memilih menjadi tukang pijit. Memijit dipilihnya sebagai pekerjaan setelah mendapat wisik saat bertirakat. Sejak itu ia memulai perjalanan hidup baru dengan modal memijit.
Pekerjaan memijit Sri dinilai bagus oleh masyarakat. Oleh karena itu, ia mendapat cukup uang untuk menghidupi dirinya, Tun, dan Ginuk. Pekerjaan ini dijalani Sri dengan biasa-biasa saja, meskipun ia harus banyak melakukan kontak fisik dengan laki-laki. Sikap bakti berperan di sini. Namun, hatinya sempat goyah ketika suatu hari harus memijit seorang pelanggan pria muda yang tampan dan gagah.
Sumarah
Sri Sumarah –yang artinya Sri yang “menyerah” atau yang “terserah”—menyerah saja waktu neneknya menyatakan kepadanya bahwa saatnya sudah tiba untuk menyiapkan diri naik ke jenjang perkawinan.
“Bukannya kebetulan nduk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu kau diharap berlaku dan bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, ini tidak berarti lantas kau diaaaam saja, nduk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak. Mengerti nduk?” (hlm.10)
Kayam membeberkan arti sumarah dengan gamblang. Selaras dengan arti yang dikemukakan Kayam, menurut Baoesastra Djawa, sumarah berasal dari kata soemarah yang artinya pasrah, manoet mitoeroet. Jadi selain pasrah, sumarah dapat pula berarti ‘menurut’. Sikap ini mengajarkan agar manusia pasrah atau menuruti takdir yang telah digariskan Tuhan. Peristiwa atau ujian apa pun yang datang dihadapi dengan penerimaan hati yang ikhlas. Penerimaan itu didasari oleh pengertian dan keterbukaan. Pengertian berarti memahami maksud terjadinya segala peristiwa yang dialami, sedangkan keterbukaan berarti tidak menutup diri atau apatis terhadap peristiwa itu.
Sikap sumarah dapat pula diartikan sebagai sikap nrima. Nrima atau narima artinya merasa puas dengan nasib, tidak memberontak, serta menerima dengan rasa terima kasih. Sikap nrima menekankan pada segala sesuatu yang datang dalam hidup seseorang, baik yang datang dari Tuhan atau dari sesama manusia. Sikap ini terlihat saat Sri pasrah menghadapi kematian suaminya, sesuatu yang telah digariskan Tuhan. Ia tentu bersedih, namun tidak memberontak atau mempertanyakan Tuhan mengapa suaminya mesti meninggalkan dirinya. Juga saat Sri dijodohkan neneknya, ia sumarah atas nasib yang ditimpakan oleh manusia lain kepadanya. Sikap nrima ini memang tidak akan membuat seseorang terbebas dari hal-hal yang akan dialaminya nanti. Namun, nrima dapat menjadi perisai yang menguatkan hati dalam menjalani kenyatan dalam hidup.
Nrima kadang-kadang diartikan orang sebagai kepasrahan segala-galanya. Seseorang yang nrima dianggap menelan mentah-mentah takdirnya dan tidak berusaha membuat hidupnya lebih baik. Ini adalah pendapat yang keliru. Nrima berarti bahwa orang yang dalam keadaan kecewa dan dalam keadaan kesulitan pun bereaksi dengan rasional, dengan tidak ambruk, dan juga tidak menentang secara percuma. Jadi bukan berarti bahwa dengan bersikap nrima atau sumarah, seseorang menjadi pasrah total, pasrah yang tidak berekasi saat menerima sesuatu hal yang membuat hidupnya sengsara.
Dalam cerpen ini, nrima terlihat dari cara Sri menghadapi masalah setelah Tun dipenjara. Saat itu Sri benar-benar mengalami kesulitan ekonomi. Sawah dan rumah telah dikuasai BTI (Barisan Tani Indonesia, gerakan yang dinaungi PKI), perhiasan habis untuk mengangsur utang, dan persediaan uang semakin menipis. Apa yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di saat seperti seperti itu? Jawabannya terlihat dalam kutipan berikut.
“Uang? Menipis dan menipis. Dalam satu-dua minggu pasti habis. Lantas? Sri sumarah, sumarah. Seperti biasa dalam keadaan begitu dia akan ingat embah dan suaminya. […] Sri kemudian bertekad untuk tirakat, tidur kekadar di luar, malamnya.”  (hlm.48)
Reaksi Sri dalam menghadapi masalah itu adalah dengan sumarah. Ia tidak menyerah begitu saja, melainkan ia mengambil langkah untuk bertirakat. Caranya dengan tidur sekadarnya dan menunggu datangnya wisik. Wisik adalah pitoedoeh (wewarah) atau gaib, artinya petunjuk gaib. Wisik itu diperoleh Sri kemudian, dan ditafsirkannya sebagai petunjuk bahwa ia harus bekerja sebagai tukang pijit demi melanjutnya hidupnya.
Bakti
Bakti disebut juga bekti atau berarti hormat. Bakti adalah kunci perilaku wanita utama Jawa. Bakti dalam tata kehidupan masyarakat Jawa, tidak hanya dilakukan oleh wanita saja, melainkan juga oleh para pria.[vi] Bakti biasanya diwujudkan dalam bentuk kepatuhan dan kesetiaan. Sebelum menikah, Sri telah diajarkan untuk bersikap bakti pada suaminya nanti. Nenek Sri memberi contoh, yaitu bakti Sembadra, istri Arjuna dalam kisah pewayangan Jawa.
Kepatuhan ini dilakukan Sri dalam menjalani masa 12 tahun perkawinan dengan Mas Marto. Salah satu yang membuat hubungan perkawinan mereka awet adalah kemampuan Sri memijat. Ini dalah bentuk laku bakti Sri pada suami. Ia mempelajari ilmu ini dari neneknya. Memijat menjadi sebuah pelayanan khusus istri kepada suami yang dipromosikan nenek akan mampu melanggengkan hubungan mereka.
Bakti berupa kesetiaan ditunjukkan Sri saat menolak lamaran untuk menjadi istri Pak Carik. Lamaran ini datang setelah ia ditinggal mati Mas Marto. Sebetulnya lamaran ini amat menggoda Sri. Harta yang dimiliki Pak Carik tentu dapat menjamin kelangsungan hidupnya sebagai janda beranak satu. Namun, saat menatap wajah Pak Carik, yang selalu terlihat adalah wajah Mas Marto. Ini membuat Sri yakin bahwa ia tidak bisa menerima lamaran itu. Sri masih setia pada almarhum suaminya. Sri masih berbakti bahkan ketika orang yang dibaktikannya telah tiada.
Kesetiaan serupa juga terlihat dari sikap Mas Marto semasa ia hidup. Ia menolak lamaran Pak Carik agar Mas Marto mau mengambil anak carik itu sebagai istrinya yang kedua. Mas Marto mungkin dapat menolak dengan tegas karena ia sadar bahwa status sosialnya yang priyayi itu lebih tinggi dari Pak Carik. Mas Marto juga tamat sekolah menengah, tidak seperti Pak Carik. Hal ini membuatnya tidak sulit untuk menolak lamaran Pak Carik. Tampaknya penolakan Mas Marto ini juga tanpa diiringi kekhawatiran akan akibat buruk dalam hubungan sosialnya dengan Pak Carik.
Sikap bakti yang tulus ditandai dengan keikhlasan hati untuk patuh, hormat, dan setia tanpa melihat segi kebendaan. Fisik tak lagi penting saat hati telah tulus untuk berbakti. Hal ini pula yang dialami Sri. Dengan sepenuh hati, Sri bakti pada suaminya, bahkan juga saat suaminya tak berwujud lagi di sisinya. Sikap ini menguntungkan dirinya. Sikap tersebut telah membatasi Sri untuk berbuat hal-hal yang tidak pantas saat melakukan pekerjaannya, yaitu memijit. Sri sudah sering meraba-raba tubuh laki-laki dan kadang-kadang ada juga laki-laki iseng yang merabai tubuhnya. Bila Sri tidak setia pada Mas Marto, sangat boleh jadi Sri akan memanfaatkan pekerjaannya sebagai sarana pemuas kebutuhan seksualnya.
Peristiwa Sri yang tergoda pada pelanggannya yang muda, tampan, dan gagah menjadi sebuah cerita yang menarik. Pada bagian ini, bakti Sri dipertanyakan kembali. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, bakti yang tulus tidak memperhitungkan fisik. Ini memang Sri rasakan, seperti yang terungkap dalam kutipan ini.
Sedang pada anak muda ini dia bisa membayangkan bentuk tubuhnya dan bagian-bagiannya. Pada Mas Marto terbayang oleh Sri keutuhan Mas Marto. Mas Martokusomo laki-laki tempat dia menumpahkan bekti dan cintanya. Karena itu Sri lebih bisa membayangkan senyumnya, nada dan lagu suaranya serta juga bau tubuhnya yang oh, begitu lainnya dengan anak muda ini. (hlm. 76)
Mengapa Sri yang sadar bahwa ia masih bakti pada Mas Marto harus tergoda oleh pemuda itu? Mungkin fisik pemuda itulah yang membuat Sri yang telah lama menjanda terpancing untuk menanggapi cumbuan pria muda itu. Peristiwa ini menimbulkan pergolakan batin di hati Sri. Ia tak cukup kuasa menolak pemuda itu sehingga ingin ‘sumarah’ saja. Namun batin Sri juga berkata, “Oh, Gustiiii, berilah aku kekuatan.Paringana kuat Gusti. Mas Marto, pake nduuuk, nyuwun ngapura…”, yang menuntutnya untuk bersikap bakti. Patut disayangkan bahwa Kayam tidak menyelesaikan peristiwa itu dengan jelas sehingga bakti Sri masih dapat dipertanyakan lagi. Atau mungkin ini adalah pekerjaan rumah yang sengaja diberikan Kayam bagi para pembaca untuk lebih menggali lagi apa makna sumarah dan bakti.


0 komentar

ANALISIS NOVEL ANGKATAN 2000-an “NEGERI 5 MENARA” KARYA AHMAD FUADI

ANALISIS NOVEL ANGKATAN 2000-an
“NEGERI 5 MENARA” KARYA AHMAD FUADI
OLEH
NAFISSA HAAQUE


A.      SINOPSIS NOVEL “NEGERI 5 MENARA” KARYA AHMAD FUADI
Alif Fikri berasal dari Maninjau, Bukittinggi, Sumatra barat, adalah seorang anak laki-laki desa yang sangat pintar. Ia dan teman baiknya Randai memiliki mimpi yang sama yaitu masuk ke SMA terbaik di Bukittinggi dan melanjutkan studi di ITB, universitas yang bergengsi itu. Selama ini Alif bersekolah di madrasah atau sekolah agama Islam. Alif merasa sudah cukup menerima ajaran Islam dan ingin menikmati masa remajanya seperti anak-anak remaja lainnya di SMA. Dengan berbekal  nilai ujian yang lumayan bagus membuatnya merasa akan terbuka kesempatan untuk Amak (ibu) memperbolehkannya untuk masuk sekolah umum. Namun mimpinya seakan sirna, musnah tak berbekas, karena Amak tidak mengijinkan. Beliau menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya Hamka, ulama yang terkenal di tanah kelahiran Alif. Dengan keputusan setengah hati Alif menuruti keinginan Amak. Namun Alif ingin bersekolah di Pondok Madani yang di Jawa Timur sesuai saran yang di tuliskan melalui surat oleh pamannya Pak Etek Gondo yang sedang berkuliah di Kairo. Dengan keterpaksaan kedua orang tuanya memperbolehkan Alif untuk melanjutkan sekolahnya di Pondok Madani, Gontor, Jawa Timur.
Besok pagi Alif di antar ayahnya ke Jawa dengan menaiki bus. Sebelum meninggalkan rumah, Alif mencium tangan Amak sambil meminta doa dan minta ampun atas kesalahannya. Selama tiga hari dalam perjalanan ke Jawa akhirnya sampai juga di terminal Ponorogo. Di terminal tersebut mereka telah disambut oleh panitia penerimaan siswa baru di Pondok Madani. Kemudian mereka langsung diajak menaiki bus untuk berangkat ke Pondok Madani yang tidak jauh dari terminal tersebut. Sampainya di pondok, Alif mengisi folmulir sebagai calon siswa. Setelah seluruh calon siswa mengisi folmulir, mereka diajak oleh panitia untuk berkeliling di Pondok Madani. Di hari H Alif dan calon siswa lainnya melaksanakan ujian tulis. Hanya satu hari setelah ujian, tepat tengah malam, sepuluh papan pengumuman hasil ujian berjejer di kantor panitia. Alif dan ayahnya merasa sangat senang karena Alif lulus ujian tulis di Pondok Madani.
“Man Jadda Wajada”. Pada hari pertama di Pondok Madani, ustad Salman sebagai wali kelas Alif meneriakkan sebuah kalimat mutiara sederhana dan kuat yakni “Siapa yang bersungguh-sungguh akan behasil”. Di kelas 1 A Alif bersahabat akrab dengan Atang berasal dari Bandung, Raja berasal dari Medan, Dulmajid berasal dari Madura, Said berasal dari Surabaya, dan Baso berasal dari Sulawesi. “Sahibul Menara” sebuah sebutan penghuni Pondok Madani terhadap Alif dan kelima sahabatnya yang selalu berkumpul di bawah menara tertinggi di Pondok Madani saat menunggu shalat magrib berjama’ah atau hanya menghabiskan waktu senggangnya untuk belajar bersama-sama, mendiskusikan tentang impian mereka, mengagumi kisah-kisah islami, semuanya dilakukan di tempat yang sama yaitu menara. Suatu ketika Sahibul Menara menunggu maghrib sambil menatap awan berarak pulang ke ufuk. Di mata mereka awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah “Jangan pernah meremehkan impian walau setinggi langit. Sesungguhnya Tuhan Maha Mendengar”.
Sehabis isya, siswa-siswa berbondong-bondong memenuhi aula. Untuk menghadiri “Pekan Perkenalan Siswa Pondok Madani. Kiai Rais selaku pemimpin Pondok Madani memberikan sambutan dan semangat kepada siswa baru di Pondok Madani. Setelah itu, acara tersebut ditutupnya dengan doa.
      Al-Barq nama asrama dimana tempat Alif beristirahat. Sebelum tidur Kak Is membacakan Qanun (aturan tidak tertulis yang tidak boleh dilanggar). Bila aturan dilanggar ganjarannya tidak main-main. Bila tidak digunduli, sekurang-kurangnya dapat jeweran berantai. Bahkan, bila pelanggarannya berat santri bisa dipulangkan. Pagi harinya Sahibul Menara bersama-sama belanja kebutuhan siswa baru di Pondok Madani. Saat jam menunjukkan 16.50, mereka masih bingung memilih lemari. Lonceng waktu ke mesjid sudah berbunyi mereka kebingungan mencari cara supaya cepat membawa lemari mereka di asrama. Tiba-tiba datang seorang dari bagian keamanan yang menghentikan langkah mereka. Sahibul Menara terkena hukuman jewer berantai karena terlambat lima menit ke mesjid untuk melaksanakan shalat maghrib berjama’ah. Setelah melakukan shalat maghrib Kak Sofyan mengumumkan siswa yang mendapatkan wesel (kiriman dari keluarga atau orang yang dikenalnya)l dan siswa yang harus menghadap ke mahkamah keamanan (orang yang melakukan kesalahan dan dihukum sesuai kesalahannya). Said merupakan siswa yang beruntung mendapatkan wesel pada hari itu. Namun, Alif dan Sahibul menara lainnya termasuk Said juga mendapatkan panggilan untuk menghadap ke mahkamah keamanan karena kesalahan tadi sore. Setiap Sahibul Menara mendapat hukuman menjadi jasus (mata-mata) dan diberikannya 1 kartu jasus untuk 2 kesalahan siswa. Dalam waktu 24 jam di mulai saat itu mereka harus mencari siswa lain yang melanggar aturan di Pondok madani serta mencatat namanya (semua siswa di PM memakai identitas diri mereka masing-masing sesuai ketentuan). Apabila mereka tidak mendapatkan siswa yang melanggar aturan dalam waktu 24 jam ke depan maka akan ditambahkan 2 kartu jasus kepada mereka. Waktu tersisa 3 jam, kartu jasus Sahibul Menara terisi semua dan mereka terbebas dari hukuman tersebut.
Surat dari seberang pulau, Alif menerima surat dari Randai yang menceritakan masa-masa perkenalan di SMA bukittinggi. Kedatangan surat dari Randai itu membuat Alif jadi bersedih dan malas bicara. Alif membayangkan keindahan masa-masa berseragam putih abu-abu. Said dan Raja Mencoba menghibur Alif tapi tidak ada hasilnya. Malam harinya ada tambahan kelas malam. “Malam ini kita akan menghabiskan waktu keliling dunia” kata ustad Salman saat masuk di dalam kelas 1 A. Beliau membacakan potongan mutiara dari tokoh-tokoh ini, “BJ Habibie, Mutiara dari Timur” , “Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan”, “Marthin Luther King, Jr: Stride Toward Freedom”, dan “Mohammed, The Man of Allah” yang membuat Alif cukup terhibur.
Pelajaran wajib yang selalu ada setiap hari, enam kali dalam seminggu adalah lughah Arabiah (bahasa Arab) yang diajarkan oleh ustad Salman. Alif dan teman yang lain, pelajaran yang paling ditunggu adalah taarikh (sejarah dunia) yang diajarkan oleh ustad Surur. Mata pelajaran Al-Qur’an dan Hadits juga dibawakan amat menarik oleh ustad Faris. Alif sangat menyukai pelajaran  Khatul Arabi (kaligrafi Arab) yang diajarkan oleh ustad Jamil. Pelajaran yang Alif suka tapi selalu berkeringat dingin saat menghadapinya adalah Mahfuzhat yang diajarkan oleh ustad Badil. Tapi dari semua pelajaran, bahasa Inggris adalah favorit Alif yang diajarkan oleh ustad Karim. Selain kelas pagi sampai jam 6, mereka juga mengikuti tambahan kelas sore untuk mendalami pelajaran pokok, khususnya bahasa Arab dan bahasa Inggris. Tambahan kelas malam yang dibimbing oleh wali kelas. Sementara kamis sore tidak ada pelajaran, tapi diisi dengan pelatihan pramuka. Tapi dari semua hari, hari yang paling mulia bagi kami dalah hari jum’at. Sebab, hari mulia ini adalah hari libur mingguan kami di Pondok Madani. Jum’at artinya bebas melakukan berbagai aktivitas yang tidak menyalahi aturan. Hari jum’at juga mereka boleh keluar dari Pondok Madani asal bisa kembali pada hari itu juga.
Hari jum’at ini, Said mengajak Sahibul Menara ke Ponorogo. Dengan berbagai macam alasan satu-persatu dari Sahibul Menara mendapatkan izin dari ustad Torik yang sedang piket saat itu. Mereka menyewa sepeda ontel dari rumah penduduk. Setelah keluar dari Pondok Madani, pertama yang mereka lakukan yaitu ingin memperbaiki gizi dan makan sate di warung Cak Tohir, membeli berbagai kebutuhan sekolah di pasar Ponorogo. Kedua, ingin melewati Ar-Rasyidah pesantren khusus putri yang terkenal. Yang ketiga agak beresiko, melewati bioskop. Said ingin melihat spanduk film yang di perankan oleh idolanya Arnold Schwarzenegger. Hujan turun sangat lebat, membuat Sahibul Menara terlambat 5 menit dari waktu yang ditentukan yakni jam 17.00. Karena keadaan tersebut mereka terbebas dari hukuman.
Begitu pula siasat Dulmajid yang memengaruhi ustad Torik agar boleh izin nonton bareng pertandingan final bulu tangkis di lingkungan Pondok Madani, padahal qanun (aturan pondok) menegaskan santri Pondok Madani di larang menonton TV. “Ustad, lob antum itu mirip sekali dengan Icuk dan smash atum mirip Liem Swie King. Kalau nggak percaya, kita nonton siaran langsung besok malam.” Kata Dulmajid. Ustad Torik langsung takhluk dan terjadilah peristiwa bersejarah itu : TV masuk Pondok Madani.
Dalam waktu 3 bulan, siswa tahun pertama Pondok Madani masih boleh menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa daerah mereka sendiri. Namun setelah itu mereka harus menguasai bahasa resmi di Pondok Madani yakni bahasa Arab dan bahasa Inggris. Itu merupakan tantangan terbesar buat mereka. Setiap selesai shalat subuh seorang kakak penggerak bahasa masuk ke setiap kamar dengan membawa papan tulis kecil. Mereka diminta mengulangi bersama-sama dan satu persatu apa yang kakak tersebut katakan. Setelah itu diberikan sebuah kalimat sempurna dengan menggunakan kosa kata yang telah mereka ucapkan bersama-sama tadi. Lalu, giliran mereka membuat kalimat lain dengan menggunakan kosa kata ini. Sebelum di tutup, mereka disuruh meneriakkan kembali kosa kata tadi bersama-sama. Dan mereka diberikan tugas untuk menyalin kosa kata tadi dan membuat 3 contoh penggunaanya dalam kalimat. Itu semua dilakukan setiap hari, 7 kali seminggu. Sebuah metode sederhana yang sangat kuat dan mampu melekatkan bahasa baru ke dalam alam bawah sadar untuk tidak lepas lagi selamanya.
Sementara 2 kali seminggu, setelah shalat subuh, mereka membuat 2 barisan panjang di lapangan dan melakukan percakapan dengan teman yang ada di depannya menggunakan suara yang keras. Kakak para penggerak bahasa akan mondar-mandir  mendengar, mengoreksi, memberi kalimat yang baik. Mereka diajarkan untuk berani mencoba dan tidak takut salah. Sampai pada suatu jum’at, jam 4 subuh. Kak Is menggelitik ujung-ujung sajadah ke hidung Alif, tapi yang keluar dari mulut Alif secara otomatis ucapan : “Maaziltu an’as kak, ayyatu saa’atin haaza?”(masih ngantuk banget kak, jam berapa sih?). Ajaib, dalam posisi setengah sadar Alif menggunakan kalimat lengkap berbahasa Arab. Sejak saat itu Alif dan kawan-kawannya yang lain merasakan perubahan yang sama. Pesan Kiai Rais “Pasang niat kuat, berusaha keras dan berdoa khusyuk, lambat laun, apa yang kalian perjuangkan akan berhasil. Ini sanatullah-hukum Tuhan”.
Sudah beberapa bulan Alif sengaja tidak menghubungi Amak sebagai protes tidak boleh masuk SMA. Cerita Kiai Rais berputar di kepalanya tentang susahnya menjadi seorang ibu. Karena Alif tidak mau menjadi seperti Malin Kundang maka Alif memohon ampun kepada Allah SWT. Malam itu juga, Alif  menuliskan surat untuk mengabari keadaannya di Pondok Madani kedapa Amak. Sejak itulah Alif teratur menulis surat ke Amak. Satu sampai dua kali sebulan.
Berbagai macam aktivitas dilakukan oleh Alif dan Sahibul Menara lainnya, Sampailah saatnya mereka melaksanakan ujian. Bertempelan dimana-mana spanduk yang bertuliskan “Ma’an najah” (Semoga sukses dalam ujian). Pembukaan ujian oleh Kiai Rais seakan-akan ujian adalah sebuah hari besar keramat ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Dan dari kejauhan, bunyi lonceng besar berdentang keras. Menandakan 15 hari ujian berakhir. Alhamdulillah. . . . . . Tiga tahun kemudian, hari pertama imtihan nihai datang juga. Warga Pondok Madani Menyebutnya “ujian di atas ujian”. Berbeda dengan ujian selama ini, untuk ujian kelas enam kami harus berpakaian rapi layaknya seorang penguji. Di awali dengan ujian lisan selama sepuluh hari, kemudian siswa diberikan waktu istirahat beberapa hari untuk mempersiapkan diri untuk ujian tulis. Selang beberapa hari kemudian, mereka masuk ke babak akhir perjuangan thalabul ilmi mereka di Pondok Madani : ujian tulis. Malam hari, mereka berkumpul di aula. Kebiasaan di Pondok Madani, sebuah ujian dibuka dan ditutup dengan pertemuan yang dipimpin oleh Kiai Rais. Inilah Malam Syukuran Ujian Akhir.
Sudah dua minggu berlalu sejak mereka merayakan selesainya ujian. Tiba saatnya, “Pengumuman kelulusan kita sudah ada, bisa di lihat di aula” seru Said sebagai ketua angkatan mereka berteriak-teriak setelah subuh.Alhamdulillah, Alif serta Sahibul Menara dan teman lainnya LULUS. Menurut pengumuman, hanya kurang dari sepuluh orang yang tidak lulus dan mereka dapat kesempatan untuk mengulang setahun lagi. Malamnya, diadakan yudisium dan khutbatul wada’ (Khutbah perpisahan) yang dipimpin oleh Kiai Rais. Kemudian siswa kelas enam berjabat tangan dengan Kiai Rais dan para guru. Selanjutnya, giliran adik kelas mereka memberikan selamat dan jabat tangan. Esok paginya, para alumni sudah siap dengan koper masing-masing. Beberapa bus dengan tujuan masing-masing sudah menunggu di depan aula. Ditengah kabut yang tipis, mereka sekali lagi bersalaman dan berangkulan dan berjanji akan saling berkirim surat. Entah kapan Alif akan melihat Sahibul Menara lainnya sebagai kawan-kawan terbaiknya lagi.
Setelah 15 tahun masa-masa sulit di Pondok Madani berlalu. Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) dipertemukan kembali di London setelan 11 tahun dipisahkan. Keberadaan Sahibul Menara yang lain yakni : Said meneruskan bisnis batik keluarga Jufri d Pasar Ampel, Surabaya. Sesuai cita-cita mereka dulu, Said dan Dulmajid mendirikan sebuah pondok dengan Semangat PM di Surabaya. Baso yang brilian ini kuliah di Mekkah dengan modal hapal luar kepala segenap isi Al-Qur’an, dia mendapat beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi. Sedangkan, Atang telah delapan tahun menuntut ilmu di Kairo dan sekarang menjadi mahasiswa program doktoral untuk ilmu hadits di Universitas Al-Azhar. Sementara Raja telah 1 tahun tinggal di London, setelah menyelesaikan hukum Islam dengan gelar License di Madinah. Dia akan berada di London selama 2 tahun memenuhi undangan  komunitas Muslim Indonesia di kota ini untuk menjadi pembina agama. Alif sebagai wartawan di Independence Avenue.
Dulu mereka melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Mereka tidak takut bermimpi, walau sejujurnya juga mereka tidak tahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihatlah hari ini. Setelah mereka mengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirim benua impian ke pelukkan masing-masing. Mereka berenam teral berada di lima negara yang berbeda. Di lima menara impian mereka. Jangan pernah meremehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Man Jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.


B.     Analisis Aspek            :
a.       Iman                      :    Sangat banyak nilai keimanan yang terkandung dalam novel Negeri 5 Menara, diantaranya kita sebagai manusia sama di sisi ALLAH. Novel ini menceritakan kehidupan di Pondok Pesantren. Sehingga banyak nilai keimanan. Dalam novel ini. Mereka memiliki keyakinan akan impian – impian mereka. yakni “jangan pernah meremehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Man Jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.”
b.      Ihsan                     : Dalam Novel ini banyak sekali kandungan keislamannya, Karena menceritakan kehidupan di dalam pesantren. Mereka melaksanakan sholat langsung setelah mendengar adzan. Menghafal dan berlatih menggunakan bahasa arab sebagai bahasa sehari – hari mereka di dalam pesantren. Selain itu ada salah satu Sahibul Menara yang hafal Al-qur’an
c.       Muamalah             : Muamalah dalam novel ini di ceritakan tentang Sahibul Menara yang sering beranggan tentang impian mereka di bawah menara menunggu maghrib sambil menatap awan berarak pulang ke ufuk. Di mata mereka awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah “Jangan pernah meremehkan impian walau setinggi langit. Sesungguhnya Tuhan Maha Mendengar”. Man Jadda Wajada. Setelah 15 tahun masa-masa sulit di Pondok Madani berlalu. Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) dipertemukan kembali di London setelan 11 tahun dipisahkan. Keberadaan Sahibul Menara yang lain yakni : Said meneruskan bisnis batik keluarga Jufri d Pasar Ampel, Surabaya. Sesuai cita-cita mereka dulu, Said dan Dulmajid mendirikan sebuah pondok dengan Semangat PM di Surabaya. Baso yang brilian ini kuliah di Mekkah dengan modal hapal luar kepala segenap isi Al-Qur’an, dia mendapat beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi. Sedangkan, Atang telah delapan tahun menuntut ilmu di Kairo dan sekarang menjadi mahasiswa program doktoral untuk ilmu hadits di Universitas Al-Azhar. Sementara Raja telah 1 tahun tinggal di London, setelah menyelesaikan hukum Islam dengan gelar License di Madinah. Dia akan berada di London selama 2 tahun memenuhi undangan  komunitas Muslim Indonesia di kota ini untuk menjadi pembina agama. Alif sebagai wartawan di Independence Avenue.
Dulu mereka melukis langit dan membebaskan imajinasi itu lepas membumbung tinggi. Mereka tidak takut bermimpi, walau sejujurnya juga mereka tidak tahu bagaimana merealisasikannya. Tapi lihatlah hari ini. Setelah mereka mengerahkan segala ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirim benua impian ke pelukkan masing-masing. Mereka berenam teral berada di lima negara yang berbeda. Di lima menara impian mereka. Jangan pernah meremehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Man Jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil.



Jumat, 21 Juni 2013 0 komentar

Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah

Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah
Oleh
Nafissa Haque
I.     Pendahuluan
Kebudayaan pada perkembangannya di era globalisai ini seolah dikalahkan oleh adanya kemajuan teknologi dan pola pemikiran manusia yang dapat menghadirkan berbagai macam corak kesenian dan setidaknya hal itulah yang dirasakan masyarakat dimasa sekarang ini. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut didukung pula oleh arus globalisasi, yang menyebabkan tradisi di zaman sebelumnya mulai memudar karena di nilai pemikiran zaman dahulu lebih mengarah pada kepercayaan. Untuk itu tradisi-tradisi di zaman dahulu saat ini sudah jarang di lakukan oleh masyarakat.
II.   Pembahasan
Meski sudah mulai ditinggalkan, sebagian warga Lamongan masih memegang tradisi perempuan yang harus meminang (melamar) laki-laki. Dan Tradisi orang Lamongan tidak boleh menikah dengan orang Kediri. Tradisi itu diduga kuat berhubungan dengan sejarah leluhur Lamongan bernama Panji Laras Liris. Tradisi perempuan yang melamar laki-laki sebelum melangsungkan pernikahan sudah cukup lama berlangsung di Lamongan. Tradisi itu dinilai tidak lazim, karena bertolak belakang dengan tradisi yang umum terjadi, yakni kaum laki-laki yang umumnya justru yang harus melamar kaum perempuan. Tradisi yang tidak diketahui mulai diberlakukan sejak kapan tersebut diduga kuat ada hubungannya dengan sejarah salah satu leluhur Kabupaten Lamongan bernama Mbah Sabilan dalam riwayat Panji Laras Liris.
Riwayat Panji Laras-Liris tersebut selalu diceritakan setiap acara ziarah ke malam Mbah Sabilan untuk memperingati Hari jadi Lamongan. Dalam riwayat Panji Laras Liris tersebut diungkapkan, sekitar tahun 1640 - 1665 Kabupaten Lamongan dipimpin bupati ketiga bernama Raden Panji Puspa Kusuma dengan gelar Kanjeng Gusti Adipati. Bupati tersebut mempunyai dua putra bernama Panji Laras dan Panji Liris yang terkenal rupawan. Ketampanan kedua pemuda Lamongan tersebut membuat jatuh hati dua putri Adipati Kediri yang bernama Dewi Andanwangi dan Dewi Andansari. Karena terus didesak putrinya, meski dengan berat hati (karena pihak perempuan harus melamar ke pihak laki-laki) Adipati Kediri menuruti keinginan putrinya dengan meminang Panji Laras dan Panji Liris di Lamongan. Saat itu warga Kediri masih belum memeluk Islam, sedangkan di Lamongan Islam sudah sangat mengakar, Menyikapi kondisi itu, Panji Laras dan Liris meminta hadiah berupa dua genuk (tempat air) dari batu dan dua tikar dari batu. Benda-benda tersebut harus dibawa sendiri oleh Dewi Andansari dan Andanwangi. Hadiah itu sebenarnya mengandung isyarat agar dewi andansari dan andanwangi mau masuk Islam. Sebab genuk mengandung isyarat tempat untuk wudlu dan tikar untuk sholat. Kedua benda tersebut saat ini tersimpan di Masjid Agung Lamongan. Permintaan itu dinilai sangat berat oleh Adipati Kediri. Meski begitu tetap dijanjikan akan dipenuhi. Selanjutnya benda-benda itu dibawa sendiri oleh kedua perempuan itu ke Lamongan dengan pengawalan satu pasukan prajurit dengan naik perahu menyusuri Kali Lamong. Kedatangan Dewi Andansari dan Andanwangi disambut Panji Laras Liris di pinggir Kali Lamongan yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Mantup. Kedua pemuda tersebut juga dikawal pasukan prajurit dari Lamongan yang dipimpin patih Mbah Sabilan. Ketika akan turun dari perahu tanpa sadar kain panjang dewi Andansari dan Andanwangi tersingkap dan kelihatan betisnya. Melihat betis kedua perempuan itu Panji Laras-Liris terbelalak dan ketakutan. Sebab betis kedua perempuan itu penuh dengan bulu lebat yang menakutkan. Spontan Panji laras Liris lari meninggalkan kedua perempuan itu. Dan menolak untuk menikahi Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi serta meminta agar rencana pernikahan tersebut dibatalkan. Mendengar hal tersebut Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi merasa terhina dan malu, sehingga mereka bunuh diri saat itu juga dihadapan Panji Laras dan Panji Liris. Melihat junjungan mereka dihina dan dipermalukan sampai bunuh diri, orang-orang Kediri itu akhirnya menjadi sangat marah dan ingin membunuh Panji Laras dan Panji Liris, kemudian terjadilah perang. Melihat nyawa Panji Laras dan Panji Liris dalam bahaya, maka Mbah Sabilan berjuang mati-matian untuk melindungi mereka, dan akhirnya Mbah Sabilan meninggal untuk melindungi nyawa Panji Laras dan Panji Liris. Setelah patihnya meninggal, orang-orang Lamongan pun semakin terdesak dan akhirnya Panji Laras dan Panji Liris pun ikut meninggal tanpa diketahui jenazahnya. Tidak puas dengan hal tersebut orang-orang Kediri itu pun semakin maju bahkan sampai ke pendopo kadipaten. Dalam pertempuran di pendopo kadipaten tersebut, Bupati Lamongan ikut gugur. Namun sebelum menghembuskan nafas terakhir, Bupati Lamongan sempat berpesan anak cucuku jangan ada yang menikah dengan orang Kediri”. Hal itulah yang menjadi alasan orang Lamongan tidak diperbolehkan menikah dengan orang Kediri dan adanya tradisi pihak perempuan yang meminang (melamar) pihak laki-laki.

III.    Penutup

Demikian yang dapat saya paparkan dalam artikel “Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah”. Dalam artikel ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada dalam artikel ini. Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya artikel ini. Semoga artikel ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.
 
;