Laksitaning subroto tan
nyipto marang pringgo bayaning lampah
Oleh
Nafissa Haque
I. Pendahuluan
Kebudayaan
pada perkembangannya di era globalisai ini seolah dikalahkan oleh adanya
kemajuan teknologi dan pola pemikiran manusia yang dapat menghadirkan berbagai
macam corak kesenian dan setidaknya hal itulah yang dirasakan masyarakat dimasa
sekarang ini. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut didukung pula
oleh arus globalisasi, yang menyebabkan tradisi di zaman sebelumnya mulai memudar
karena di nilai pemikiran zaman dahulu lebih mengarah pada kepercayaan. Untuk
itu tradisi-tradisi di zaman dahulu saat ini sudah jarang di lakukan oleh
masyarakat.
II.
Pembahasan
Meski sudah mulai ditinggalkan, sebagian warga Lamongan masih
memegang tradisi perempuan yang harus meminang (melamar) laki-laki. Dan Tradisi
orang Lamongan tidak boleh menikah dengan orang Kediri. Tradisi itu diduga kuat
berhubungan dengan sejarah leluhur Lamongan bernama Panji Laras Liris. Tradisi
perempuan yang melamar laki-laki sebelum melangsungkan pernikahan sudah cukup
lama berlangsung di Lamongan. Tradisi itu dinilai tidak lazim, karena bertolak
belakang dengan tradisi yang umum terjadi, yakni kaum laki-laki yang umumnya
justru yang harus melamar kaum perempuan. Tradisi yang tidak diketahui mulai
diberlakukan sejak kapan tersebut diduga kuat ada hubungannya dengan sejarah
salah satu leluhur Kabupaten Lamongan bernama Mbah Sabilan dalam riwayat Panji
Laras Liris.
Riwayat Panji Laras-Liris tersebut selalu diceritakan setiap
acara ziarah ke malam Mbah Sabilan untuk memperingati Hari jadi Lamongan. Dalam
riwayat Panji Laras Liris tersebut diungkapkan, sekitar tahun 1640 - 1665
Kabupaten Lamongan dipimpin bupati ketiga bernama Raden Panji Puspa Kusuma
dengan gelar Kanjeng Gusti Adipati. Bupati tersebut mempunyai dua putra bernama
Panji Laras dan Panji Liris yang terkenal rupawan. Ketampanan kedua pemuda
Lamongan tersebut membuat jatuh hati dua putri Adipati Kediri yang bernama Dewi
Andanwangi dan Dewi Andansari. Karena terus didesak putrinya, meski dengan
berat hati (karena pihak perempuan harus melamar ke pihak laki-laki) Adipati Kediri
menuruti keinginan putrinya dengan meminang Panji Laras dan Panji Liris di
Lamongan. Saat itu warga Kediri masih belum memeluk Islam, sedangkan di Lamongan
Islam sudah sangat mengakar, Menyikapi kondisi itu, Panji Laras dan Liris meminta
hadiah berupa dua genuk (tempat air) dari batu dan dua tikar dari batu.
Benda-benda tersebut harus dibawa sendiri oleh Dewi Andansari dan Andanwangi. Hadiah
itu sebenarnya mengandung isyarat agar dewi andansari dan andanwangi mau masuk
Islam. Sebab genuk mengandung isyarat tempat untuk wudlu dan tikar untuk
sholat. Kedua benda tersebut saat ini tersimpan di Masjid Agung Lamongan. Permintaan
itu dinilai sangat berat oleh Adipati Kediri. Meski begitu tetap dijanjikan
akan dipenuhi. Selanjutnya benda-benda itu dibawa sendiri oleh kedua perempuan
itu ke Lamongan dengan pengawalan satu pasukan prajurit dengan naik perahu
menyusuri Kali Lamong. Kedatangan Dewi Andansari dan Andanwangi disambut Panji
Laras Liris di pinggir Kali Lamongan yang saat ini masuk wilayah Kecamatan
Mantup. Kedua pemuda tersebut juga dikawal pasukan prajurit dari Lamongan yang dipimpin
patih Mbah Sabilan. Ketika akan turun dari perahu tanpa sadar kain panjang dewi
Andansari dan Andanwangi tersingkap dan kelihatan betisnya. Melihat betis kedua
perempuan itu Panji Laras-Liris terbelalak dan ketakutan. Sebab betis kedua
perempuan itu penuh dengan bulu lebat yang menakutkan. Spontan Panji laras
Liris lari meninggalkan kedua perempuan itu. Dan menolak untuk menikahi Dewi Andansari
dan Dewi Andanwangi
serta meminta agar rencana pernikahan tersebut dibatalkan. Mendengar hal tersebut Dewi
Andansari dan Dewi Andanwangi merasa terhina dan malu,
sehingga mereka bunuh diri saat itu juga dihadapan Panji Laras dan Panji
Liris. Melihat junjungan mereka dihina dan dipermalukan sampai bunuh diri,
orang-orang Kediri itu akhirnya menjadi sangat marah dan ingin membunuh Panji
Laras dan Panji Liris, kemudian terjadilah perang. Melihat nyawa Panji
Laras dan Panji Liris dalam bahaya, maka Mbah Sabilan berjuang mati-matian
untuk melindungi mereka, dan akhirnya Mbah
Sabilan meninggal untuk melindungi nyawa Panji Laras dan
Panji Liris. Setelah patihnya meninggal, orang-orang Lamongan pun semakin
terdesak dan akhirnya Panji Laras dan Panji Liris pun ikut meninggal tanpa diketahui jenazahnya. Tidak
puas dengan hal tersebut orang-orang Kediri itu pun semakin maju
bahkan sampai ke pendopo kadipaten. Dalam pertempuran di pendopo kadipaten
tersebut, Bupati Lamongan ikut gugur. Namun sebelum menghembuskan nafas
terakhir, Bupati Lamongan sempat berpesan “anak cucuku jangan ada yang menikah
dengan orang Kediri”. Hal itulah yang menjadi
alasan orang Lamongan tidak diperbolehkan menikah dengan orang Kediri dan
adanya tradisi pihak perempuan yang meminang (melamar) pihak laki-laki.
III.
Penutup
Demikian yang
dapat saya paparkan dalam artikel “Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah”.
Dalam artikel ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada dalam
artikel ini. Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan saran
yang membangun kepada penulis demi sempurnanya artikel ini. Semoga artikel ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya.