ANALISIS MASALAH YANG
TERKANDUNG DALAM
CERPEN “SRI SUMARAH“
KARYA UMAR KAYAM
OLEH
NAFISSA HAQUE
A. SINOPSIS
CERPEN “SRI SUMARAH” KARYA UMAR KAYAM
Sri Sumarah bercerita tentang seorang
perempuan yang menjadi istri seorang guru yang dipanggil bu guru pijit karena
dia punya keahlian memijit. Dia bernama asli Sri sumarah yang memiliki arti
pasrah. Dia terbiasa pasrah menjalani hidup sejak kecil. Dia selalu di didik
dengan cara jawa oleh neneknya, dia di ajarkan untuk selalu patuh terhadap
suaminya apapun perintahnya. Dia di ibaratkan sebagai Subadra isrri
arjuna yang paling setia dan selalu sabar meskipun suaminya menikah
berkali-kali dengan perempuan lain. Hal ini pun sedikit banyak harus pula di
alami Sri ketika suaminya di anjurkan oleh camat untuk menikah lagi bahkan pak
camat pun telah menyiapkan calonnya.
Sri Sumarah mengisahkan jiwa seorang
Jawa yang tumbuh dalam suatu lingkungan kebudayaan Jawa, menghadapi berbagai
tantangan dan perubahan jaman, dengan lukisan-lukisan alam perasaan dan alam
perkembangan sastra Indonesia. Nama tokoh ini berarti Sri yang menyerah,
terserah, atau pasrah. Sikap ini diajarkan oleh neneknya dan ingin diajarkannya
pada anaknya pula. Sikap sumarah diterjemahkan Sri sebagai kepasrahan ketika
dijodohkan neneknya dengan Mas Marto, suaminya. Juga ketika ditinggal mati
suaminya, ketika harus berjuang membesarkan Tun anaknya dan mendapatinya hamil
di luar nikah, dan juga ketika menghadapi kematian Yos menantunya yang dibunuh
dan Tun ditahan di penjara sebab terlibat gerakan PKI.
Setelah peristiwa tragedi Yos dan Tun
itu, Sri lah yang mengurus Ginuk, cucu satunya-satunya. Sikap sumarah tetap
dijalankannya. Sikap itu mengiringinya selama berusaha memenuhi hidup. Ia
memilih menjadi tukang pijit. Memijit dipilihnya sebagai pekerjaan setelah
mendapat wisik saat bertirakat. Sejak itu ia memulai perjalanan hidup baru
dengan modal memijit. Pekerjaan memijit Sri dinilai bagus oleh masyarakat. Oleh
karena itu, ia mendapat cukup uang untuk menghidupi dirinya, Tun, dan Ginuk.
Pekerjaan ini dijalani Sri dengan biasa-biasa saja, meskipun ia harus banyak
melakukan kontak fisik dengan laki-laki. Sikap bakti berperan di sini. Namun,
hatinya sempat goyah ketika suatu hari harus memijit seorang pelanggan pria
muda yang tampan dan gagah.
Sri menghadapi masalah setelah Tun
dipenjara. Saat itu Sri benar-benar mengalami kesulitan ekonomi. Sawah dan
rumah telah dikuasai BTI (Barisan Tani Indonesia, gerakan yang dinaungi PKI),
perhiasan habis untuk mengangsur utang, dan persediaan uang semakin menipis. Apa
yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di saat seperti seperti
itu? Jawabannya terlihat dalam kutipan berikut. Uang? Menipis dan menipis.
Dalam satu-dua minggu pasti habis. Lantas? Sri sumarah, sumarah. Seperti biasa
dalam keadaan begitu dia akan ingat embah dan suaminya.Sri kemudian bertekad
untuk tirakat, tidur kekadar di luar, malamnya. Reaksi Sri dalam menghadapi
masalah itu adalah dengan sumarah. Ia tidak menyerah begitu saja, melainkan ia
mengambil langkah untuk bertirakat. Caranya dengan tidur sekadarnya dan
menunggu datangnya wisik. Wisik adalah pitoedoeh (wewarah) atau gaib, artinya
petunjuk gaib. Wisik itu diperoleh Sri kemudian, dan ditafsirkannya sebagai
petunjuk bahwa ia harus bekerja sebagai tukang pijit demi melanjutnya hidupnya.
Bawuk, putri bungsu keluarga Suryo,
putri seorang 'onder,' priyayi Jawa. Sejak kecil ia telah menumbuhkan
sifat-sifat kerakyatan, berbeda denga keempat kakaknya. Hal ini tampak dalam
sikapnya yang menghargai para pembantunya. Hanya Bawuk seorang yang memahami
kepedihan ibunya, yang terpaksa melihat suaminya tenggelam dalam pelukan ledek
(penari), dalam suatu pesta di Kabupaten. Setelah dewasa, Bawuk berkenalan
dengan Hassan, seorang aktivis Partai Komunis. Kemudian mereka menikah dan
mempunyai seorang putri dan putra. Ketika peristiwa G 30 S meletus, Hassan ikut
terlibat dan terus dikejar tentara. Maka Bawuk beserta kedua anaknya terpaksa
pindah dari satu kota ke kota lain, untuk mengikuti suaminya yang terpaksa
terus melarikan diri dari kejaran tentara. Akhirnya, bawuk mengambil keputusan.
Ia datang ke kota tempat tinggal ibunya, untuk menitipkan kedua anaknya. Tak
mungkin ia membawa-bawa kedua anaknya dalam pelarian itu. Anak-anaknya butuh
kehidupan yang layak dan bersekolah dengan tenang. Di rumah ibunya, Bawuk
disambut oleh keempat kakak beserta ipar-iparnya yang telah mapan: seorang
brigjen, dosen di ITB, dirjen di salah satu departemen, dan seorang dosen lagi
di Gadjah Mada. Mereka terus membujuk Bawuk agar tetap tinggal di kota itu.
Namun Bawuk telah berketetapan hati untuk terus mencari suaminya. Dengan tegar
ia menjelaskan bahwa sebagai isteri, ia tetap harus menemui suaminya. Hanya
saja kedua anaknya dititipkan kepada ibunya. Semua kakaknya sulit menerima
keputusan itu. Hanya sang ibu yang dapat memenuhi keputusan Bawuk. Cerita
ditutup dengan suara sayup anak-anak Bawuk yang sedang belajar mengaji. Bu
Suryo membaca dalam surat kabar, bahwa G 30 S telah ditumpas dan Hassan,
menantunya ialah salah seorang yang diberitakan tertembak mati. Tapi Bawuk tak
ketahuan rimbanya.
B. Masalah
– Masalah yang Terkandung Dalam Cerpen “Sri Sumarah”
Nuansa Jawa yang kental terlihat di cerpen yang menceritakan makna nama
yang tersandang oleh tokoh Sri Sumarah. Cerpen ini cukup panjang hingga dapat
juga disebut novelet. Nama tokoh ini berarti Sri yang menyerah, terserah, atau
pasrah. Sikap ini diajarkan oleh neneknya dan ingin diajarkannya pada anaknya
pula. Sikap sumarah diterjemahkan Sri sebagai kepasrahan ketika
dijodohkan neneknya dengan Mas Marto, suaminya. Juga ketika ditinggal mati
suaminya, ketika harus berjuang membesarkan Tun—anaknya—dan mendapatinya hamil
di luar nikah, dan juga ketika menghadapi kematian Yos—menantunya—yang dibunuh
dan Tun ditahan di penjara sebab terlibat gerakan PKI. Setelah peristiwa tragedi
Yos dan Tun itu, Sri-lah yang mengurus Ginuk, cucu satunya-satunya. Sikap
sumarah tetap dijalankannya. Sikap itu mengiringinya selama berusaha memenuhi
hidup. Ia memilih menjadi tukang pijit. Memijit dipilihnya sebagai pekerjaan
setelah mendapat wisik saat bertirakat. Sejak itu ia memulai perjalanan
hidup baru dengan modal memijit.
Pekerjaan memijit Sri dinilai bagus oleh masyarakat. Oleh karena itu, ia
mendapat cukup uang untuk menghidupi dirinya, Tun, dan Ginuk. Pekerjaan ini
dijalani Sri dengan biasa-biasa saja, meskipun ia harus banyak melakukan kontak
fisik dengan laki-laki. Sikap bakti berperan di sini. Namun, hatinya
sempat goyah ketika suatu hari harus memijit seorang pelanggan pria muda yang
tampan dan gagah.
Sumarah
Sri Sumarah –yang artinya Sri yang
“menyerah” atau yang “terserah”—menyerah saja waktu neneknya menyatakan
kepadanya bahwa saatnya sudah tiba untuk menyiapkan diri naik ke jenjang
perkawinan.
“Bukannya
kebetulan nduk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu kau diharap berlaku dan
bersikap sumarah, pasrah, menyerah. Lho, ini tidak berarti lantas kau diaaaam
saja, nduk. Menyerah di sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak.
Mengerti nduk?” (hlm.10)
Kayam membeberkan arti sumarah dengan
gamblang. Selaras dengan arti yang dikemukakan Kayam, menurut Baoesastra
Djawa, sumarah berasal dari kata soemarah yang artinya pasrah, manoet
mitoeroet. Jadi selain pasrah, sumarah dapat pula berarti ‘menurut’. Sikap
ini mengajarkan agar manusia pasrah atau menuruti takdir yang telah digariskan
Tuhan. Peristiwa atau ujian apa pun yang datang dihadapi dengan penerimaan hati
yang ikhlas. Penerimaan itu didasari oleh pengertian dan keterbukaan.
Pengertian berarti memahami maksud terjadinya segala peristiwa yang dialami,
sedangkan keterbukaan berarti tidak menutup diri atau apatis terhadap peristiwa
itu.
Sikap sumarah
dapat pula diartikan sebagai sikap nrima. Nrima atau narima
artinya merasa puas dengan nasib, tidak memberontak, serta menerima dengan rasa
terima kasih. Sikap nrima menekankan pada segala sesuatu yang datang dalam
hidup seseorang, baik yang datang dari Tuhan atau dari sesama manusia. Sikap
ini terlihat saat Sri pasrah menghadapi kematian suaminya, sesuatu yang telah
digariskan Tuhan. Ia tentu bersedih, namun tidak memberontak atau mempertanyakan
Tuhan mengapa suaminya mesti meninggalkan dirinya. Juga saat Sri dijodohkan
neneknya, ia sumarah atas nasib yang ditimpakan oleh manusia lain kepadanya.
Sikap nrima ini memang tidak akan membuat seseorang terbebas dari hal-hal yang
akan dialaminya nanti. Namun, nrima dapat menjadi perisai yang menguatkan hati
dalam menjalani kenyatan dalam hidup.
Nrima
kadang-kadang diartikan orang sebagai kepasrahan segala-galanya. Seseorang yang
nrima dianggap menelan mentah-mentah takdirnya dan tidak berusaha membuat
hidupnya lebih baik. Ini adalah pendapat yang keliru. Nrima berarti bahwa orang
yang dalam keadaan kecewa dan dalam keadaan kesulitan pun bereaksi dengan
rasional, dengan tidak ambruk, dan juga tidak menentang secara percuma. Jadi
bukan berarti bahwa dengan bersikap nrima atau sumarah, seseorang menjadi
pasrah total, pasrah yang tidak berekasi saat menerima sesuatu hal yang membuat
hidupnya sengsara.
Dalam cerpen
ini, nrima terlihat dari cara Sri menghadapi masalah setelah Tun dipenjara.
Saat itu Sri benar-benar mengalami kesulitan ekonomi. Sawah dan rumah telah
dikuasai BTI (Barisan Tani Indonesia, gerakan yang dinaungi PKI), perhiasan
habis untuk mengangsur utang, dan persediaan uang semakin menipis. Apa yang
harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di saat seperti seperti itu?
Jawabannya terlihat dalam kutipan berikut.
“Uang? Menipis dan menipis. Dalam satu-dua minggu pasti habis. Lantas? Sri sumarah, sumarah. Seperti biasa dalam keadaan begitu dia akan ingat embah dan suaminya. […] Sri kemudian bertekad untuk tirakat, tidur kekadar di luar, malamnya.” (hlm.48)
“Uang? Menipis dan menipis. Dalam satu-dua minggu pasti habis. Lantas? Sri sumarah, sumarah. Seperti biasa dalam keadaan begitu dia akan ingat embah dan suaminya. […] Sri kemudian bertekad untuk tirakat, tidur kekadar di luar, malamnya.” (hlm.48)
Reaksi Sri
dalam menghadapi masalah itu adalah dengan sumarah. Ia tidak menyerah begitu
saja, melainkan ia mengambil langkah untuk bertirakat. Caranya dengan tidur
sekadarnya dan menunggu datangnya wisik. Wisik adalah pitoedoeh (wewarah)
atau gaib, artinya petunjuk gaib. Wisik itu diperoleh Sri kemudian, dan
ditafsirkannya sebagai petunjuk bahwa ia harus bekerja sebagai tukang pijit
demi melanjutnya hidupnya.
Bakti
Bakti disebut
juga bekti atau berarti hormat. Bakti adalah kunci perilaku wanita utama
Jawa. Bakti dalam tata kehidupan masyarakat Jawa, tidak hanya dilakukan oleh
wanita saja, melainkan juga oleh para pria.[vi] Bakti biasanya diwujudkan dalam bentuk
kepatuhan dan kesetiaan. Sebelum menikah, Sri telah diajarkan untuk bersikap
bakti pada suaminya nanti. Nenek Sri memberi contoh, yaitu bakti Sembadra,
istri Arjuna dalam kisah pewayangan Jawa.
Kepatuhan ini
dilakukan Sri dalam menjalani masa 12 tahun perkawinan dengan Mas Marto. Salah
satu yang membuat hubungan perkawinan mereka awet adalah kemampuan Sri memijat.
Ini dalah bentuk laku bakti Sri pada suami. Ia mempelajari ilmu ini dari
neneknya. Memijat menjadi sebuah pelayanan khusus istri kepada suami yang
dipromosikan nenek akan mampu melanggengkan hubungan mereka.
Bakti berupa
kesetiaan ditunjukkan Sri saat menolak lamaran untuk menjadi istri Pak Carik.
Lamaran ini datang setelah ia ditinggal mati Mas Marto. Sebetulnya lamaran ini
amat menggoda Sri. Harta yang dimiliki Pak Carik tentu dapat menjamin
kelangsungan hidupnya sebagai janda beranak satu. Namun, saat menatap wajah Pak
Carik, yang selalu terlihat adalah wajah Mas Marto. Ini membuat Sri yakin bahwa
ia tidak bisa menerima lamaran itu. Sri masih setia pada almarhum suaminya. Sri
masih berbakti bahkan ketika orang yang dibaktikannya telah tiada.
Kesetiaan
serupa juga terlihat dari sikap Mas Marto semasa ia hidup. Ia menolak lamaran
Pak Carik agar Mas Marto mau mengambil anak carik itu sebagai istrinya yang
kedua. Mas Marto mungkin dapat menolak dengan tegas karena ia sadar bahwa
status sosialnya yang priyayi itu lebih tinggi dari Pak Carik. Mas Marto juga
tamat sekolah menengah, tidak seperti Pak Carik. Hal ini membuatnya tidak sulit
untuk menolak lamaran Pak Carik. Tampaknya penolakan Mas Marto ini juga tanpa
diiringi kekhawatiran akan akibat buruk dalam hubungan sosialnya dengan Pak
Carik.
Sikap bakti
yang tulus ditandai dengan keikhlasan hati untuk patuh, hormat, dan setia tanpa
melihat segi kebendaan. Fisik tak lagi penting saat hati telah tulus untuk
berbakti. Hal ini pula yang dialami Sri. Dengan sepenuh hati, Sri bakti pada
suaminya, bahkan juga saat suaminya tak berwujud lagi di sisinya. Sikap ini
menguntungkan dirinya. Sikap tersebut telah membatasi Sri untuk berbuat hal-hal
yang tidak pantas saat melakukan pekerjaannya, yaitu memijit. Sri sudah sering
meraba-raba tubuh laki-laki dan kadang-kadang ada juga laki-laki iseng yang
merabai tubuhnya. Bila Sri tidak setia pada Mas Marto, sangat boleh jadi Sri
akan memanfaatkan pekerjaannya sebagai sarana pemuas kebutuhan seksualnya.
Peristiwa Sri
yang tergoda pada pelanggannya yang muda, tampan, dan gagah menjadi sebuah
cerita yang menarik. Pada bagian ini, bakti Sri dipertanyakan kembali. Seperti
yang diungkapkan sebelumnya, bakti yang tulus tidak memperhitungkan fisik. Ini
memang Sri rasakan, seperti yang terungkap dalam kutipan ini.
Sedang pada
anak muda ini dia bisa membayangkan bentuk tubuhnya dan bagian-bagiannya. Pada
Mas Marto terbayang oleh Sri keutuhan Mas Marto. Mas Martokusomo laki-laki
tempat dia menumpahkan bekti dan cintanya. Karena itu Sri lebih bisa
membayangkan senyumnya, nada dan lagu suaranya serta juga bau tubuhnya yang oh,
begitu lainnya dengan anak muda ini. (hlm. 76)
Mengapa Sri
yang sadar bahwa ia masih bakti pada Mas Marto harus tergoda oleh pemuda itu?
Mungkin fisik pemuda itulah yang membuat Sri yang telah lama menjanda
terpancing untuk menanggapi cumbuan pria muda itu. Peristiwa ini menimbulkan
pergolakan batin di hati Sri. Ia tak cukup kuasa menolak pemuda itu sehingga
ingin ‘sumarah’ saja. Namun batin Sri juga berkata, “Oh, Gustiiii, berilah aku kekuatan.” Paringana kuat Gusti.
Mas Marto, pake nduuuk, nyuwun ngapura…”, yang menuntutnya untuk
bersikap bakti. Patut disayangkan bahwa Kayam tidak menyelesaikan peristiwa itu
dengan jelas sehingga bakti Sri masih dapat dipertanyakan lagi. Atau mungkin ini
adalah pekerjaan rumah yang sengaja diberikan Kayam bagi para pembaca untuk
lebih menggali lagi apa makna sumarah dan bakti.
1 komentar:
Makasih
Posting Komentar