Jumat, 07 November 2014 0 komentar

Analisis Sosiologis dalam Kumpulan Puisi “Patiwangi” Karya Oka Rusmini

Analisis Sosiologi Terhadap Kumpulan Puisi “Patiwangi” Karya Oka Rusmini
Oleh : Nafissa Haque (12020144216)

Abstrak
       Karya sastra merupakan hasil pemikiran dan cerminan dari sebuah budaya kelompok masyarakat mana saja yang memiliki kebudayaan, oleh karena itu dalam karya sastra banyak menceritakan tentang interaksi manusia dengan manusia dan lingkungan. Patiwangi ialah suatu upacara yang dilakukan tehadap perempuan bangsawan di Pura Desa untuk menghilangkan kebangsawanannya, karena menikahi laki-laki berkasta rendah. Keadaan atau peistiwa ini ialah cerminan dari realitas dan aspek sosial kemasyarakatan di Bali yang merupakan aib bagi kasta brahmana.
           Ka ta kunci: Karya sastra, Patiwangi, Kasta, Brahmana, Bali

I.                   Pendahuluan
Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Pendekatan yang dilakukan terhadap karya sastra pada dasarnya ada dua, yaitu pendekatan instrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur merupakan unsur-unsur dalam yang diangkat dari isi karya sastra, seperti tema, alur atau plot, perwatakan, gaya bahasa dan penokohan. Sedangkan unsur-unsur ekstrinsik berupa pengaruh dari luar yang terdapat dalam karya sastra itu diantaranya sosiologi, politik, filsafat, antropologi dan lain-lain. Pendekatan sosiologis atau pendekatan ekstrinsik biasanya mempermasalahkan sesuatu diseputar sastra dan masyarakat bersifat sempit daneksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat, dan politik.
Dapat dipahami bahwa bilamana seseorang ingin mengetahui keadaan sosiologis dari suatu masa karya tertentu ditulis, kita memang belum tentu dapat mengenal tata kemasyarakatan pada waktu itu, tetapi setidaknya kita dapat mengenal tema mana yang kira-kira dominan pada waktu itu melalui pendekatan sosiologis. Melalui pendekatan sosiologis ini penulis akan mengkaji kumpulan puisi “Patiwangi” Karya Oka Rusmini

II.                Kajian Teori
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. kesimpulan dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Grebstein (dalam Damono,1984: 4-5) menjelaskan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara menyeluruh dan dipisahkan dari budaya masyarakat yang menghasilkannya. Dengan demikian, kesamaan permasalahan antara sosiologi dengan sastra adalah sama-sama berurusan dengan manusia dan masyarakat. Namun, seorang sosiolog hanya dapat melihat fakta berdasarkan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat. Sedangkan sastrawan mampu mengungkapkan kenyataan melalui imajinasinya.
Uraian  di   ata dipertega oleh  pendapat   Ratn (2004:   399)   yang mengatakan bahwa sosiologi sastra adalah Analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat.Jadi, sosiologi adalah kajian terhadap suatkarya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya baik yang berhubungan dengan penciptanya, gambaran masyarakat dalam karya itu maupun pembacanya
Dalam bukunya A Glossary of literature Term. Abrams menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga tipe perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu:
1.        Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal.
2.        Karya dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya     .
3.        Audien atau pembaca (1981:178).
            Lain halnya dengan Grebsten (dalam Damono, 1989) dalam bukunya mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra dengan kesimpulan sebagai berikut:
1.         Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah dihasilkan. Ia harus mempelajari konsep seluas-luasnya
2.         Gagasan yanga ada dalam karya sastra sama pentingya dengan bentuk dan teknik penulisannya,atau teknik itu di tentukan oleh gagasan tersebut
3.          Setiap karya sastra yang bisa bertahan  lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan dan sumber
4.         Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai satu kekuatan atau faktor material, istimewa, dan kedua, sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif
5.         Kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tanpa pamrih harus melibatkan diri kedalam suatu tujuan tertentu.
6.         Kritikus bertanggng jawab baik kepada sastra masa silam maupun masa depan.
                   Berdasarkan  pendekatan terhadap karya sastra, kritik sastra itu dapat pula digolongkan ke dalam kritik objektif, yakni kritik sastra yang menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa suatu karya sastra adalah karya yang mandiri. Ia tidak perlu dilihat dari segi pengarang, pembaca, atau dunia sekitarnya. Ia harus dilihat sebagai objek yang berdiri sendiri, yang memiliki dunia sendiri. Oleh sebab itu kritik yang dilakukan atas suatu karya sastra merupakan kajian intrinsik semata.
III.             Pembahasan
Penulis akan menganalisis satu dari sekian puisi pada bagian potret, yakni “Bajang-Bajang” menurut KKBI bajang-bajang berarti hantu yg berkuku panjang, yg menurut kepercayaan sebagian masyarakat, suka mengganggu anak-anak dan wanita hamil. Untuk dapat mengerti maksud pada puisi ini, kita analisis dulu bagian isi.

Bajang - Bajang
(I)


Kau bisa memandang dengan matamu yang hitam?
Lalu kautelanjangi
Satu demi satu rangkaian yang bertengger di Kuri Gede
Kau diam
Ketika semburat warna dan tangis memutarmu
Kautuntun waktu
Atau waktu yang memaksamu
Masuk Bale Bandung
Kau berubah
Menjelma jadi Dewi Ratih
Melantai dengan sedikit polesan
Agung wajah, agung darah
Parekan tua menyunggimu
Dengan batu darah perawan baru
Kau gelisah

Payas Agung begitu berat di kepala
Orang-orang bergumam
Wajahmu kusut, tidak tahu harus bicara apa
Hanya satu kalimat dari pelingsir
“Jegg sudah Bajang.”
Analisis bagian puisi (I)
Pada potongan puisi Bajang- Bajang ini saya menemukan beberapa aspek sosial kemasyarakatan yang terjadi di Bali yang terlihat dari beberapa bait-bait yang dapat saya artikan tentang suatu persiapan upacara yang bertengger di Kuri Gede (Pintu besar pada upacara besar). Seorang putri kasta brahmana bersiap masuk ke Bale Bandung (Bangunan yang disucikan) denga wajah yang kusut dan gelisah ia bersiap diri untuk disunggingkan batu darah perawan baru oleh parekan (abdi laki-laki). Dari makna puisi tersebut dapat dilihat dari aspek sosiologi bahwa Jegg (Sebutan putri kasta brahmana) terlihat takut dalam menjalani upacara yangakan menurunka kastanya. Sehingga berdampak sosiologis pada masyarakat sekitarnya sehingga “Jegg” dapat di cemooh oleh warga sekitar dan dianggap membawa aib untuk keluarganya (Kasta Brahmana)
(IV)
Ada luka yang lebar di mata
Menembus lubang roh-roh
Sementara sedikit birahi mulai menetes
Ada sang Kamajaya mengendon dalam bilik hati
Ada Sang Kamajaya mengendon dalam bilik hati
Luka pada bintik hitam mata mulai berdarah
Mengering, berdarah dan bernanah
Kau hanya berkata:
“Tembok ini terlalu tinggi.”
Griya tidak bisa menolongmu
Kau bisa jadi pejabat, menjadi feminis yang ambisius/energik
Kau menggeleng, meghamburkan nanah dari lubang mata
Lalu menggeliat di atas bale-bale
Cecak dan cereret mengunit kediaman milikmu
Jejahitan di tangan robek. Pelingsir marah
Katanya:
Seorang bajang berwarna polesan harus teliti.
Harus..”(Satu malam kau dengar nasehat itu)
Kau hanya mengangguk. Lain tidak
Alam juga tidak beringsut mengajarimu jadi Srikandi
Yang berani memberontak, menuntut hak (lagi-lagi menggeleng tidak, menggangguk tidak)
Katamu:
“Titiang tidak berani menjawabnya.”
Analisis bagian puisi (IV)
Pada bagian ini “Jegg” merasa sedih karena sang Kamajaya mulai pergi, dan tidak ia dapati lagi pertemuan itu. Griya (rumah kasta brahmana) tidak dapat lagi menolongnya. Ia dapat bebas sekarang menjadi seorang yang feminis, ambisius tanpa adanya larangan lagi. “Jegg” ini memiliki sikap atau perilaku yang mudah memberontak dan melakukan hal apapun yang ia ingin tanpa bisa dicegah. Dan akhirnya “Jegg” merasa menyesal dan ingin kembali putri keturunan kasta brahmana. Namun tidak ada yang dapat menolongnya lagi.
Analisis bagian puisi (IX)
Bajang:
Mata milikmu berair
Sang Kamajaya tidak peduli
Bajang? Kau bukan bajang lagi
Datu-datu berserakan
Masa tua yang sepi
Masa tua yang menggigit
Masa tua yang berpangkat
Alangkah mahalnya pegorbananmu, Dewi Ratih
(bajang-bajang lari kemana)
Masih ingat parekan?Mesangih?Mesunggi di atas pundak?
Coba pandang keluar
Kertas kerja membungkus surga
Jabatanmu hanya datu
Analisis puisi bagian (IX)
Pada bagian ini diperlihatkan pengorbanan Dewi Ratih dari berbagai upacara yang ia lewati dari abdi laki-laki, sampai upacara memotong gigi yang berat untuk dilalui, namun terselesaikan. Dan saat ini ia hanyalah menjadi “datu” yakni perawan tua. Dari seoramg putri brahmana yang melakukan ritual mempertahankan keperawanannya dari pada menikahi laki-laki berkasta rendah

Patiwangi
Inilah tanah baruku
Mata air menentukan hidupnya
Ikan-ikan memulai percintaan baru
Batang-batang yang menompang daun-daun muda
Membuat upacara penguburan

Telah kucium beragam bunga
Dan sesajen mengutuk kaki yang kubenamkan ditanah
Suara genta menyumbat mata angin
Tak mampu mengantar dewa pulang.

Kubuat peta di Pura-pura
Mengatur warnaku pada silsilah matahai
Bumi mengeram, tanah memendam amarah
Tak ada pecahan suara
Menyelamatkan warnaku

Para lelaki menantang matahari
Menunggu warna perempuan pilihannya
Tak ada upacara untuknya disetiap sudut pura
Para pemangku hanya mencium  bangkai dupa
Terlalu banyak dewa yang harus diingat
Dan para lelaki terus meminang
Karena namaku
Kuharus punya sejarah upacara
Anak-anak
Kelak kumandikan dari pilihan ini
Analisis Puisi Patiwangi.
Patiwangi: Pati, mati. Wangi, keharuman. Patiwangi adalah upacara yang dilakukan terhadap perempuan bangsawan di Pura Desa untuk menghilangkan kebangsawanannya, karena menikahi laki-laki perkasta rendah. Seringkali upacara ini berdampak psikologis bagi para perempuan bangsawan.
Pada puisi ini menurut saya, menjelaskan tentang kehidupan baru pasca melakukan ritual patiwangi. Suatu kegiatan upacara yang mengutuk untuk menjadi orang biasa karena gelar kebangsawannnya telah dihapus karena ia lebih memilih menikahi kasta sudra yang meupakan aib bagi keluarga brahmana karena dianggap menurunkan kasta keturunannya. dan ia bersedia dimandikan dari pilihan ini.



IV.             Penutup
            Perkembangan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Kajian ini dikaji menggunakan kritik objektif, yakni kritik sastra yang menggunakan pendekatan atau pandangan bahwa suatu karya sastra adalah karya yang mandiri. Ia tidak perlu dilihat dari segi pengarang, pembaca, atau dunia sekitarnya. Ia harus dilihat sebagai objek yang berdiri sendiri, yang memiliki dunia sendiri. Oleh sebab itu kritik yang dilakukan atas suatu karya sastra merupakan kajian intrinsik semata.Sebagai salah satu pedekatan kritik sastra, sosiologi sastra dapat mengacu pada cara memahami dan menilai sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (sosial) yang tercermin dalam kumpulan puisi patiwangi karya Oka Rusmini.



Daftar Pustaka
Semi, Drs Atar. 1989, Kritik Sastra. Bandung : angkasa
Hardjono, andre. 1994, Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama


Jumat, 05 Juli 2013 1 komentar

Sejarah Pemikiran Modern

FILSAFAT HELENISME DAN FILSAFAT SKOLASTIK
Oleh
Nafissa Haque


A.                 Filsafat Helenisme
Yunani adalah sebuah Negara di Eropa yang telah memiliki pemikiran peradaban yang maju sejak berabad-abad tahun yang lalu (Yunani kuno). Istilah Helenisme adalah istilah modern yang diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizein yang berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani” (to speak or make Greek). Helenisme Klasik: Yaitu kebudayaan Yunani yang berkembang pada abad ke-5 dan ke-4 SM. Helenisme Secara Umum: Istilah yang menunjuk kebudayaan yang merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya Asia Kecil, Syiria, Mesopotamia, dan Mesir yang lebih tua. Lama periode ini kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai 323 SM (Masa Alexander Agung atau Meninggalnya Aristoteles) hingga 20 SM (Berkembangnya Agama Kristen atau Jaman Philo)
Jadi pemikiran filsafat helenisme adalah filsafat Yunani untuk mencari hakikat sesuatu atau sebuah pemikiran untuk mencari suatu kebenaran yang terjadi pada masa Yunani kuno. Filsafat Yunani pada masa Hellen-Romawi dalam garis besarnya dapat dibagi dua, periode etik dan periode religi.

B.                             Filsafat Skolastik
Zaman Skolastik dimulai sejak abad ke-9. Kalau tokoh masa Patristik adalah pribadi-pribadi yang lewat tulisannya memberikan bentuk pada pemikiran filsafat dan teologi pada zamannya, para tokoh zaman Skolastik adalah para pelajar dari lingkungan sekolah-kerajaan dan sekolah-katedral yang didirikan oleh Raja Karel Agung (742-814) dan kelak juga dari lingkungan universitas dan ordo-ordo biarawan.
Dengan demikian, kata “skolastik” menunjuk kepada suatu periode di Abad Pertengahan ketika banyak sekolah didirikan dan banyak pengajar ulung bermunculan. Namun, dalam arti yang lebih khusus, kata “skolastik” menunjuk kepada suatu metode tertentu, yakni “metode skolastik”.
Dengan metode ini, berbagai masalah dan pertanyaan diuji secara tajam dan rasional, ditentukan pro-contra-nya untuk kemudian ditemukan pemecahannya. Tuntutan kemasukakalan dan pengkajian yang teliti dan kritis atas pengetahuan yang diwariskan merupakan ciri filsafat Skolastik.

Pada periode ini, diupayakan misalnya, pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi tanpa berdasarkan Kitab Suci (Anselmus dan Canterbury). Selanjutnya, logika Aristoteles diterapkan pada semua bidang pengkajian ilmu pengetahuan dan “metode skolastik” dengan pro-contra mulai berkembang (Petrus Abaelardus pada abad ke-11 atau ke-12). Problem yang hangat didiskusikan pada masa ini adalah masalah  universalia dengan konfrontasi antara “Realisme” dan “Nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya. Selain itu, dalam abad ke-12, ada pemikiran teoretis mengenai filsafat alam, sejarah dan bahasa, pengalaman mistik atas kebenaran religious pun mendapat tempat.
0 komentar

BUDAYA MASYARAKAT PULAU KETUPAT

BUDAYA MASYARAKAT PULAU KETUPAT
OLEH
NAFISSA HAQUE
PENDAHULUAN
            Pulau Ketupat merupakan pulau kecil yang terletak di wilayah timur Madura. Untuk menuju pulau ketupat di perlukan waktu kurang lebih lima jam dengan naik kapal yang tarifnya berkisar rata-rata dua puluh lima ribu rupiah. Jika membawa kendaraan bermotor, menambah biaya ongkos sebesar sepuluh ribu.
            Kapal penumpang yang menuju pulau ketupat hanya muat untuk dua puluh lima orang. Itupun jumlah penumpang maksimal. Biasanya penumpang yang bertujuan kesana hanya sepuluh sampai dengan lima belas orang saja.
            Masyarakat yang ingin langsung ke Pulau Ketupat lebih banyak menempuh jalur Panarukan daerah Probolinggo, karena lebih banyak melakukan rute perjalanan ke pulau-pulau kecil. Pulau Ketupat ini sangat eksotis. Dari jauh pulau ini tampak seperti gundukan tanah yang kecil. Semakin medekat gundukan tanahnya semakin membesar. Pantai tersebut banyak di kerumuni oleh karang-karang. Banyak sampan-sampan kecil yang bermesin berdatangan menjemput para penumpang. “Tore, Pa’.”(“Mari, Pa.”). Itulah sapaan awak sampan yang memberikan bantuan kepada para penumpang yang mengangkat barang berat. Seteah sampan berisi sekitar 5 orang, berangkatlah sampan menuju pelababuhan dengan tarif sekitar  dua ribu per orang.
TOPOGRAFI DAN DEMOGRAFI
            Pulau Ketupat adalah pulau kecil yang terletak di sebelah timur ujung pulau Madura.Luas pulau tersebut sekitar 2.10 km.
Batas-batas Pulau Ketupat      :
Utara                             Selat Madura
Selatan                           Laut Jawa
Timur                            Pulau Raas
Barat                               Selat Sapudi

-Jenis tumbuhan yang banyak tumbuh disana adalah pandan liar. Selain itu juga terdapat tumbuhan bukkol, palembang, dan bille. Adapun tumbuhan yang menghasilkan komoditi berupa siwalan (ta’al) dan kelapa (nyiur).

-Jenis binatang yang terdapat disana adalah

a. Burung : kepodang, penthet, jalak,gagak, bangau laut, elang laut, walet, perkutut, jalak                       koci, bangau, tekukur, dan pipit

b. Ayam : ayam alam, ayam kampung, dan ayam bengkok

c. Binatang ternak : sapi dan kambing

d. Ikan : ceng-kocengan, armang, cucut, dan katambha’

e. Kepiting :sengki, rajungan, kampat, anca’, dan kongo

SISTEM AGAMA
            Agama yang banyak di peluk oleh masyarakat Madura adalah Islam.
Kuntowijyo (1986:43) mengungkapkan bahwa masyarakat Madura adalah masyarakat Islam. Persebaran  Islam ke Madura bermula dari pedagang Gujarat, India. Yang berdagang dan menyebarkan agama islam. (Jonge,1989b:40). Hal itu terbukti adanya mushola, langgar, dan juga masjid yang tampak tersebar di Pulau Ketupat. Adapun pemeluk agama selain islam, sangat jarang. Untuk bangunan rumah peribadatan di Ketupat, yang ada hanyalah rumah ibadah untuk umat islam, sedangkan Gereja, Pura, dan Juga Vihara tidak terdapat disana.
            Di Pulau Ketupat terdapat seorang laki-laki beragama kristen. Namun di desa tersebut, ia menikah dengan perempuan beragama islam. Ketika memunyai seorang anak, anak mereka harus di rawat dengan cara islam, misalnya di khitan serta di selameti. Dan di doakan menjadi orang yang berguna, baik dunia maupun di akhirat.

Pembangunan tempat ibadah umat islam disini berkembang sangat pesat karena adanya solidaritas terhadap agama islam. Hal itu tampak dari penggalangan dana yang mereka lakukan untuk membangun masjid. Tetapi saat ini banyak mereka menggalang dana untuk membangun masjid namun hasil penggalangan dana tersebut mereka gunakan untuk kepentingan pribadi. Maka dari itu di Madura jarang ada masyarakat yang menjadi pengemis.
 
;